Tafsir Tematik [9] Antara Do’a Musa As. Dan Permohonan Nabi Muhammad Saw.

Permohonan Nabi Musa as.

Ketika Allah SWT mengutus Musa as. sebagai rasul-Nya dan memerintahnya agar mendatangi Fir’aun dan mengajaknya kepada jalan kebenaran dan penghambaan kepada Allah; Dzat yang Maha Sempurna, beliau melihat bahwa tugas itu sangat berat atasnya dan beliau telah mampu membaca berbagai kesulitan dan rintangan yang akan beliau hadapi di jalan penyampaian Risalah tersebut, sebab beliau tahu persis karakter dan kecongkakan Fir’aun, oleh karena itu beliau mengangkat tangan menengadah ke Hadirat Allah yang Maha Kuasa dan memohon pertolongan dan taufiq dari-Nya, karena ia sadar tanpa pertolongan dan taufiq Allah tidak mungkin tugas berat tersebut dapat beliau pikul dan ia jalankan dengan baik dan sempurna.

Allah mengabadikan permohonan Nabi Musa as. tersebut dalam kitab suci-Nya, Al Qur’an al Karim. Allah SWT berfirman:

قالَ رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ

Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku.”

Nabi Musa as. memohon agar dilapangkan dadanya untuk dapat memikul beban berat dan beresiko tinggi, karena ia –seperti yang sudah dikenal- seorang yang memiliki jiwa yang spontanitas dalam membasmi kemungkaran dan kezaliman, dan tugas da’wah ini tidak mungkin akan diterima begitu saja oleh penduduk asli Mesir (suku Qibthi), dan itu sangat mungkin mengundang kemarahan Musa as., ketika kebenaran dihinakan dan dilecehkan oleh mereka.

Oleh sebab itu ia memohon agar Allah SWT melapangkan dadanya sehingga dapat menanggung dengan sabar keangkuhan sikap pengingkaran dan berbagai ganguan yang lain.

وَ يَسِّرْ لِيْ أَمْرِي

Dan mudahkanlah untukku urusanku.

Nabi Musa as. memohon agar perkara yang dibebankan ke atas pundaknya yaitu kerasulan, dimudahkan baginya. Ia tidak memohon peringan beban da’wah, juga tidak memohon agar materi da’wahnya diperingan; agar Allah SWT mengurangi risalah beliau sehingga risalahnya menjadi risalah yang ringan setelah sebelumnya risalah tersebut berat dan sulit. Tidak! Musa as. tidak memohon yang demikian, namun ia memohon agar risalah berat yang dipikulkan ke atas pundaknya itu dijadikan ringan baginya, pada dasarnya ia memohon agar Allah memberinya kekuatan ekstra agar ia dapat memikul tugas da’wah tersebut dan tugas itu terasa ringan dan mudah baginya.

وَ احْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ

Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku.

Permohonan Musa as. ketiga ialah agar Allah SWT memberinya kemudahan dalam menyampaikan materi da’wah, ia memohon agar ia dikarunia kemampuan dalam menerangkan dan menjelaskan Risalah Ilahiyah, sebab hanya dengan komunikasi yang baik dan jelas, kebenaran dapat mereka fahami.

Arti ini diperjelas dengan ayat berikutnya:

يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ

Supaya mereka mengerti peerkataanku.

Agar mereka dapat memahami ucapan keterangan-keteranganku.

 

Permohonan Keempat Nabi Musa as.

Di samping permohonan-permohonan di atas, Musa as. juga memohon:

وَ اجْعَلْ لِيْ وَزِيْرًا مِنْ أَهْلِيْ هَارُوْنَ أَخِيْ

Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku.

Permohonan Musa as. keempat adalah agar Allah SWT menjadikan baginya seorang Wazîr.

Kata Wazîr dalam bahasa Arab berasal dari kata: الْوِزْرُ yang berartikan beban berat. Seorang pembantu raja disebut Wazîr karena ia yang akan memikul beban berat sang raja.

Dan ada pula yang menganggapnya berasal dari kata: الْوَزَرُ yang berartikan gunung yang dijadikan tempat berlindung. Serorang pembantu raja disebut Wazîr dikarenakan sang raja selalu berlindung dengannya dalam pendapat dan keputusan-keputusannya.

Ringkas kata, Nabi Musa as. memohon kepada Allah SWT agar Ia berkenan menjadikan (mengangkat) seorang Wazîr untuknya dari keluarganya sendiri. Nabi Musa pun menjelaskan bahwa orang yang ia maksud adalah Harun, saudara kandungnya.

Nabi Musa as. memohon agar Harun dijadikan Wazîr-nya karena ia tahu, bahwa urusan yang akan dihadapinya adalah sangat kompleks dan bercabang, tidak mungkin ia pikulnya sendiri, ia sangat butuh pada seorang Wazîr yang menjadi sekutunya dalam manjalankan tugas berat itu dan meringankannya. Dan ia akan menjadi pengikut dan pendukung Musa as.

Inilah inti firman Allah:

اُشْدُدْ بِهِ أَزْرِيْ وَ أَشْرِكْهُ فِيْ أَمْرِيْ

Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku

Ayat ini datang sebagai penjelas dari permohonan Musa as. agar ia diberi seorang waziir.

Adapun maksud firman Allah SWT:

وَ أَشْرِكْهُ فِيْ أَمْرِيْ

Adalah permohonan Musa as. agar Wazîr tersebut diikut-sertakan dalam perkaranya: أمْرِيْ, yaitu perkara yang khusus baginya, yaitu penyampaian wahyu untuk pertama kali.

Perkara ini memang khusus hanya bagi Nabi Musa as. tidak ada orang lain menyertainya dan ia juga tidak berhak mewakilkannya kepada orang lain. Inilah yang disebut dengan istilah Tablîgh Ibtidâ’i. Adapun penyampaian agama atau sebagian dari ajaran-ajarannya setelah disampaikan oleh seorang nabi, maka hal itu bukan tugas dan perkara yang khusus bagi seorang nabi tersebut, akan tetapi penyampaian dan tablîgh dalam bentuk (tahap) ini adalah tugas setiap Mukmin yang memiliki pengetahuan tentangnya; bagi yang alim harus mengajarkannya kepada yang jahil, dan bagi yang hadir (ketika penyampaian pesan ilahi oleh nabi) berkewajiban menyampaikan kepada yang ghaib.

Dan Nabi Musa as. tidak mungkin memohon dari Allah agar menyertakan Harun saudaranya dalam perkara yang bersifat umum dan bukan menjadi hak khusus baginya.

Dari sini dapat dimengerti bahwa permohonan agar diikut-sertakannya Harun dalam perkara Musa as. adalah agar Harun bertugas menyampaikan sebagian wahyu Allah SWT dari Musa as., selain itu permohonan itu berartikan bahwa Musa memohon agar Harun juga diberi keistimewaan-keistimewaan yang menjadi keistimewaan khusus baginya seperti; wajib dita’ati, ucapannya berbobot sebagai hujjah dll.

Adapun diikutsertakannya Harun dalam perkara kenabian dan penerimaan wahyu Allah, bukanlah hal yang ditakutkan oleh Musa as., apabila hanya dia seorang (tanpa Harun) yang menyandangnya, sehingga ia butuh memohon kepada-Nya agar Harun diikut-sertakan dengannya dalam perkara tersebut. Yang dikhawatirkan oleh Musa as. adalah penyampaian wahyu tersebut dan pengaturan umat Bani Israil serta hal-hal yang akan muncul ketika pelaksanaan tugas tersebut. Dan yang demikian itu telah dijelaskan oleh Musa as. sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Qashash ayat 34.

 

Antara Musa dan Muhammad saw.

Dalam banyak hadis shahih yang diriwayatkan para ulama’ disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. juga pernah memanjatkan do’a serupa ke Hadirat Allah SWT. Beliau memohon agar Ali as. dijadikan Wazîr beliau. Permohonan itu beliau panjatkan ketika mengetahui Imam Ali as. memberikan cincinnya ketika beliau sedang ruku’ kepada seorang pengemis, kemudian Allah SWT  menurunkan ayat al Wilayah –sebagaimana telah diriwayatkan puluhan ulama Ahlusunnah juga-. Dan selain dalam kesempatan itu, Nabi saw. juga pernah memanjatkan do’a yang sama, tepatnya, ketika Allah SWT menurunkan ayat-ayat yang menceritakan kisah Musa di atas.

Riwayat-riwayat dalam masalah ini cukup kuat dan telah diriwayatkan oleh tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai mazhab Islam.

Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa darinya, berikut keterangan singkat tentangnya.

  1. As Suyuthi dalam ad Durr al Mantsûr[1] menyebutkan: Ibnu Mardawaih, al Khathîb dan Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Asmâ’ binti ‘Umais, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah di sebelah gunung (bukit) Tsubair bersabda, “Cerahlah engkau hai Tsaubair, cerahlah engkau Tsaubair. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu sebagaimana Musa, saudaraku memohonnya kepada-Mu; agar Engkau melapangkan bagiku dadaku, memudahkan bagiku urusanku dan melepaskan kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku. Ya Allah, jadikanlah bagiku seorang Wazîr dari keluargaku; Ali saudaraku, teguhkan dengan dia kekuatanku, dan jadikan dia sekutuku dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Mengetahui.”
  2. As Suyuthi[2] juga meriwayatkan dari as Salafi dalam kitab ath-Thuyurat-nya dengan sanad bersambung kepada Abu Ja’far Muhammad bin Ali (al Bagir as.), beliau berkata, “ Ketika ayat:

وَ اجْعَلْ لِيْ وَزِيْرًا مِنْ أَهْلِيْ هَارُوْنَ أَخِيْ

turun kepada Nabi, beliau berada di atas sebuah gunung, kemudian beliau berdo’a: “Ya Allah, teguhkanlah kekuatanku dengan Ali saudaraku.” Maka Allah mengabulkan permohonan beliau.

  1. Sibth Ibn Jauzi dalam[3] Tadzkirah-nya meriwayatkan dari Imam Ahmad dalam kitab Fadhâil dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Nabi saw. memegang tangan Ali dan tanganku, ketika itu kami berada di kota Makkah, kemudian beliau shalat empat raka’at lalu mengangkat tangan beliau sambil berkata, “Ya Allah, Musa bin Imran memohon kepada-Mu … dan aku, Muhammad Nabi-Mu memohon kepada-Mu, ‘Lapangkanlah bagiku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah ikatan lidahku supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang Wazîr dari keluargaku, (yaitu) Ali, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku dan jadikanlah dia sekutuku dalam urusanku.”

Ibnu Abbas berkata, “”Lalu aku mendengar suara berkumandang di angkasa: ‘Wahai Muhammad seluruh permohonanmu telah diperkenankan.’

  • Isyarat Imamah Ali as. dalam Riwayat di atas

Dalam do’a Nabi saw. di atas, beliau memohon agar Ali as. dijadikan sekutu beliau dalam urusan beliau: (وَ أَشْرِكْهُ فِيْ أَمْرِيْ), dan maksud dari permohonan itu bukanlah beliau meminta agar Ali as. dijadikan seorang nabi. Demikian juga maksud dari kata:  أَمْرِيْ/urusanku bukanlah sekedar bimbingan dan da’wah kepada kebenaran –seperti yang difahami oleh sebagian ulama’- sebab tugas itu bukan urusan yang khusus bagi Nabi saw. yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain, sedangkan kata: أَمْرِيْ menunjukkan arti perkara yang khusus bagi Nabi saw., oleh karena itu tidak mungkin yang dimaksud dengannya perkara yang umum bagi semua orang.

Perkara yang khusus bagi Nabi saw. itu adalah penyampaian wahyu untuk pertama kali, ia tidak dibenarkan untuk mewakilkan penyampaian wahyu untuk pertama kali itu kepada seorang pun, dan jika beliau memohon agar ada seorang yang dijadikan sekutu dalam perkara ini, itu artinya beliau memohon agar orang tersebut dijadikan sekutu dalam perkara khusus itu.

Bentuk tablîgh yang demikian itu dan juga seluruh konsekwensi yang lahir darinya seperti kewajiban untuk dita’ati, adalah urusan yang khusus bagi seorang nabi. Menjadi sekutu untuknya dalam urusan itu berarti sekutu dalam urusan (perkara) Nabi tersebut.

Dan inilah makna: ‘jadikan dia sekutuku dalam perkaraku’ dalam do’a Nabi saw.

Al Allamah al Mudzaffar berkata, “Riwayat-riwayat tersebut menetapkan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh Harun untuk Imam Ali as. Maka dengan demikian baliau berkedudukan yang sama dengan Harun dalam hal mengemban ilmu, keharusan atas umat untuk ta’at kepadanya dan kepemimpinan atas mereka, sebab Harun adalah sekutu Musa dalam urusannya. Maka kedudukan Ali as. di sisi Rasulullah saw. sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa as., hanya saja Ali as. bukan seorang nabi, seperti yang ditegaskan dalam hadis Manzilah.

Al Qur’an al Karîm telah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah pemungkas para nabi, maka riwayat-riwayat itu harus kita artikan bahwa Ali as. sekutu Nabi saw. dalam seluruh perkara kecuali kenabian, dengan demikian Ali as. memiliki hak imamah dan kepemimpinan umum atas umat. Hak tersebut telah beliau miliki sejak masa hidup Nabi saw., akan tetapi beliau diam (tidak memfungsikannya) kecuali dalam kesempatan-kesempatan tertentu dan atas seizin Nabi saw.

_________

[1] Ad Durr al-Mantsûr,5/566.

[2] Ibid.

[3] Al Mudzaffar, Dalâil  ash Shidq,2/341-342.

Pos ini dipublikasikan di Bukti-bukti Imam Ali as. Dalam Al Qur'an, Kajian Qur'ani, Kisah-kisah Al Qur'an, Renungan Al Qur'an, Tafsir Tematik. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar