Membumikan Nilai-nilai Tauhid [10]

Iman Dan Konsekuensi Terhadap Tanggung Jawab

إِنَّما كانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنينَ إِذا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَ رَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنا وَ أَطَعْنا وَ أُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَ مَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ وَ يَخْشَ اللَّهَ وَ يَتَّقْهِ فَأُولئِكَ هُمُ الْفائِزُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul- Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An Nûr;51-52)

Konsistenti Keimanan

Dalam rana keimanan ada sebuah masalah penting yang harus selalu ditekankan, yaitu bahwa konsistenti seorang Mukmin dalam menjalankan tuntutan keimanan itu kokoh tidak berubah mengikuti arah kepentingan individual yang sempit dan cenderung brutal menentang kemaslahatan umum yang sesuai dengan Syari’at. Artinya, ia tidak hanya siap berpegang dengan keimanan ketika ia tidak bertentangan dengan kepentingan brutalnya, apapun ketika kepentingannya terancam dan atau terusik oleh nilai-nilai progresif keimanan maka ia campakkan keimanan itu dan ia segera menanggalkan busana ketaatan.

Al Qur’an menegaskan bahwa orang-orang seperti itu bukan orang-orang Mukmin. Karena keimanan menuntut untuk selalu bergandengan dengan amal shaleh dan konsekuen dalam menjalankan tuntutan keimanan itu. Keimanan yang hanya di bibir saja tidak bernilai dan tidak membuah hasil, baik untuk individu maupun komunitas.

Dan realita lain yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa keimanan penuh tanggung jawab itu bersifat konsisten dan kokoh, tidak ditegakkan di atas kepentingan-kepentingan individual sesaat.

Seorang Mukmin adalah seorang yang konsisten menjalankan tuntutan keimanan selama hidupya. Keimanan kepada Kerasulan menuntut untuk kita terikat dengan Sunnah dan tuntunan Rasulullah saw. Tidak hanya bersemangat di kala aman dan tenang kemudian ketika kondisi sulit menuntutnya untuk bangkit berpegang teguh dengan keimanan ia berubah. Tidak juga ketika agama berpihak kepada kepentingan individualnya, ia bergegas menampakkan semangat dan kesiapan menjalankan agama, lalu ketika tuntutan keimanan mengusik kepentingannya, ia abaikan keimanan.

Allah SWT. telah mengecam kaum Yahudi yang bermental seperti itu, mendadak menjadi sangat agamis di saat agama tidak mengusik kepentingan mereka. Dan mereka mencampakkan keimanan ketika mereka rasakan agama mulai mengusik kepentingan mereka. Allah telah mengambil sumpah atas Bani Israil dengan firman-Nya:

وَ إِذْ أَخَذْنَا مِيْثَاقَكُمْ لاَ تَسْفِكُوْنَ دِمَاءَكُمْ وَ لاَ تُخْرِجُوْنَ أَنْفُسَكُم مِّنْ دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَ أَنْتُمْ تَشْهَدُوْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kalian untuk tidak menumpahkan darah dan tidak akan mengusir diri kalian (baca: saudara kalian sebangsa) dari kampung halaman kalian, kemudian kalian berikrar (akan memenuhinya) dan kalian menyaksikannya.” (QS. Al Baqarah;84)

Tetapi apa yang terjadi? Apa yang mereka lakukan?

ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلاَءِ تَقْتُلُوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَ تُخْرِجُوْنَ فَرِيْقاً مِّنْكُمْ مِّنْ دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُوْنَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ وَ إِنْ يَأتُوْكُمْ أُسَارَى تُفَادُوْهُمْ وَ هُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ

Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh diri (baca: saudara sebangsa) kalian dan mengusir segolongan dari (saudara) kalian sendiri dari kampung halamannya; (dan dalam perbuatan) dosa dan permusuhan ini kalian saling bantu-membantu, sedangkan jika mereka datang kepada kalian sebagai tawanan, kalian (akan membebaskan mereka dengan membayar) fidyah (tebusan) padahal pengusiran itu telah dilarang bagi kalian. …”

Inkonsisten ini yang dikecam Allah SWT.

أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَ تَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّوْنَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَ مَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

Apakah kalian mempercayai sebagian (perintah) kitab (Taurat) dan mengingkari sebagian yang lain? Balasan bagi orang dari kalian yang berbuat demikian adalah kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dicampakkan ke dalam siksa yang sangat berat. Dan Allah tidak akan lengah terhadap segala perilaku kalian.” (QS. Al Baqarah;85)

Kita membaca dalam sejarah Islam, bagaimana Mu’awiyah ketika dalam kondisi terjepit dan kekalahan sudah di depan mata, ia memperalat Al Qur’an… Mu’awiyah yang sepanjang hidupnya memeragi Al Qur’an dan ajaran agungnya, kini mendadak memerintahkan prajuritya untuk mengangkat mush-haf-mush-haf di ujung-ujung tombak-tombok mereka seraya menyerukan agar bertahkim kepada Al Qur’an. Sebuah tipu uslihat yag hasilnya sudah dapat dipridiksi sejak awal, yaitu akan adanya sekelompok dari prajurit Imam Ali as. yang akan termakan tipu-muslihat ini. Dan benarlah, akhirnya apa yang diinginkan Mu’awiyah tercapai. Kini pasukan Ali as. berbagi menjadi dua kelompok; kelompok yang sadar bahwa itu hanya kemunafikan belaka, dan kelompok lain tertipu dengan kemunafikan Mu’awiyah dan memaksa Ali as. agar segera menghentikan peperangan yang kemenangannya sudah di depan mata mereka. Peringatan Imam Ali as. pun mereka abaikan bahkan mereka tentang. Imam Ali as. mengingatkan bahwa itu hanya sekedar tipu-muslihat Mu’awiyah. Mu’awiyah bukan orang yang percaya Al Qur’an dan mengagunkannya!

Mu’awiyah juga tidak risih menggunakan simbol-simbol agama dan ritual Islam untuk mencapai kepentingan jahatnya. Ia juga memimpin shalat. Bahkan sesekali ia juga meriwayatkan keutamaan Imam Ali as. atau meminta orang lain mensifati Ali as. di hadapannya, lalu ia menampakkan kekagumannya kepada ketaqwaan dan keadilan Imam Ali as. … semua itu ia lakukan demi mengelabui kaum Muslimin dan menutupi kebusukannya. Demi meraih simpatik pihak-pihak yang loyak kepada Ali as.

Tetapi ketika Mu’awiyah melihat hukum-hukum agama dan Syari’at bertolak belakang dengan kepentingan brutalnya, maka ia tidak segan-segan membuangnya dan bahkan memeranginya.

Sengaja Mu’awiyah saya angkat sebagai contoh kasus di sini untuk menjadi barometer mengukur diri kita… Di mana kita? Apakah kita hanya siap menjalankan agenda keimanan selama ia bersejalan dengan kepentingan kita, lalu kita akan mencampakkannya ketika ia bertentangan dan mulai mengusik kepentingan kita?

Orang-orang yang labil dalam sikap mereka antara keimanan dan berpaling darinya, tidak dianggap sebagai orang-orang yang beriman. Iman itu adalah keyakinan yang menetap dalam jiwa dan diterjemahkan dengan tindakan positif, dengan amal shaleh. Semua janji Allah bagi kaum Mukminin adalah untuk mereka yang menggandengankan keimanan dengan amal shaleh secara kontinu dan kokoh berjalan di atas prinsip keimanan.

Al Qur’an Adalah Penjelasan Yang Gamlang

Keterangan Al Qur’an cukup jelas dan bamlang dan tiada kesamaran di dalamnya.

لَقَدْ أَنْزَلْنا آياتٍ مُبَيِّناتٍ وَ اللَّهُ يَهْدي مَنْ يَشاءُ إِلى‏ صِراطٍ مُسْتَقيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nûr;46)

Ayat-ayat suci Al Qur’an menerangi hati dengan keimanan dan nilai-nilai Tauhid, mempertajan daya pikar kritis manusia serta mengusir kegelapan. Ia adalah cahaya di atas cahaya, nûrun ‘alâ nûr. Ayat-ayat suci ini tentunya sebagai penerang jalan bagi keimanan. Dan hanya orang-orang yang menggunakan akal sehatnya, dan menyucikan hatinya yang akan tersinari dengan cahaya hidayah Allah, Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”.

Tentu bukanlah makna “Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” bahwa Allah memberikan hidayah-Nya tanpa perhitungan. Dia akan memberikan hidayah-Nya kepada mereka yang menyiapkan diri untuk menerima curahan anugerah Allah, bersungguh-sungguh dan membuktikan keseriuasan mereka dalam mencari cahaya hidayah-Nya. Allah akan membimbing mereka. Adapun orang yang sengeja menutup pintu hatinya dan membelenggu pikirannya, maka dia tidak akan mendapatkannya. Tentu bukanlah maksud “Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” bahwa Allah menyengaja menghalang-halangi orang tertentu untuk mendapat hidayah-Nya padahal ia sudah bersungguh-sungguh mencarinya, semantara Allah memberikan hidayah-Nya kepada yang lain yang walaupun ia berpaling darinya, sehingga di sini, manusia benar-benar tercabut ikhtiyarnya dan tidak punya kehendak apapun. Tentu tidak demikian!

Kemudian ayat di atas melanjutkan:

   وَ يَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَ بِالرَّسُولِ وَ أَطَعْنا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَريقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذلِكَ وَ ما أُولئِكَ بِالْمُؤْمِنينَ

“Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. An Nûr;47)

Mereka mengaku beriman dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi sebagian dari mereka berpaling dari konsekuensi keimanan itu.

Ayat di atas tidak sedang membicarakan kaum kafir atau mereka yang mendadak murtad dari lingkaran Islam. Pembicaraan dalam ayat di atas tentang orang-orang yang mengkalim sebagai Mukminin. Tentag orang-orang yang secara formal Muslimin. Tetapi mereka meninggalkan konsekuensi keimanan, sehingga Allah menyebut mereka dengan firman-Nya: “sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” Karena inti keimanan kepada Allah artinya adalah kemantapan hati dalam mengesakan Allah dan menerima agama yang diwahyukan-Nya. Sebagaimana inti keimanan kepada Rasul-Nya adalah kemantapan hati menerima beliau sebagai Utusan Allah, yang perintahnya adalah perintah Allah, larangannya adalah larangan Allah, keputusannya adalah keputusan Allah, dan ketaatan kepadanya adalah ketaatan kepada Allah. Ketaatan kepada Allah adalah menjalankan apa yang Dia syari’atkan dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah mengikuti perintah dan larangannya serta menerima dengan lapang dada semua keputusannya. Dan ia pada dasarnya adalah ketaatan kepada Allah SWT.

Jadi mereka yang mengucapkan dengan lisan-lisan mereka: “Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Tetapi ”Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu” tidak mau menerima ketetapan Allah dan Rasul-Nya… membangkang dari ketaatan, maka: “sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.”

Contoh praktis keberpalingan mereka dari konsekuensi keimanan adalah:

وَ إِذا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَ رَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذا فَريقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ

“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul- Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.” (QS. An Nûr;48)

Ayat ini mengisyatakna kepada adanya persengketaan yang terjadi antara anggota masyarat Muslim yang dipimpin Nabi saw. lalu ketika sebagian yang sedang bersengketa itu diajak untuk bertakhim kepada Nabi saw., ia menolak. Ayat ini diyakini turun terkait dengan sebagian kaum munafik yang enggan bertahkim kepada Nabi saw.

Tentu Nabi saw. dalam memutuskan seluruh kasus persengketaan yang terjadi di antara anggota masyarakat adalah dengan keputusan Allah sesuia bimbingan Allah:

إِنَّا أَنْزَلْنا إِلَيْكَ الْكِتابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِما أَراكَ اللَّهُ وَ لا تَكُنْ لِلْخائِنينَ خَصيماً

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An Nisâ’; 105)

Kendati ayat yang sedang kita bahas ini menunjuk kepada kasus peradilan, qadhâ’, namun kandungannya bersifat umum, tidak terbatas pada keharusan tunduk kepada Nabi saw. hanya dalam kasus peradilan saja. Tetapi juga mencakup berpaling dari perintah-perintah Nabi pada selain kasus peradilan.

Mereka menolak bertakhim kepada hukum Allah, kecuali apabila mereka melihat bahwa hukum Allah sedang berpihak pada kepentingan individual mereka.

 وَ إِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنينَ

Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.” (QS. An Nûr;49)

Demikianlah mereka. Dan ini adalah bentuk nyata mengikuti hawa nafsu bukan tunduk kepada hukum Allah yang diputuskan Rasulullah saw.

Mengapakah mereka bersemangat ketika keputusan itu berpihak kepada kepentingan brutal mereka? Sementara itu apabila mereka melihat bahwa hukum/keputusan itu tidak akan menguntungkan mereka, dan apalagi merugikan mereka mereka berpalig. Ayat selanjutnya menyebutkan tiga sebab yang mungkin melatar-belakangi sikap membangkang mereka itu:

أَ في‏ قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتابُوا أَمْ يَخافُونَ أَنْ يَحيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَ رَسُولُهُ بَلْ أُولئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku lalim kepada mereka. Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang lalim.” (QS. An Nûr;50)

Pertama: “Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit?”

Yang dimaksudkan dengan penyakit di sini adalah lemahnya keimanan, bukan kemunafikan itu sendiri. Sebab dalam banyak ayat dibedakan antara orang-orang munafik dan orang-orang yang dalam hati mereka ada penyakit.

لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنافِقُونَ وَ الَّذينَ في‏ قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَ الْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لا يُجاوِرُونَكَ فيها إِلاَّ قَليلاً

“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang- orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” (QS. Al Ahzâb;60)

Kedua“atau (karena) mereka ragu-ragu.” akan kebenaran agama yang telah mereka terima sebelumnya.

Ketiga: “ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku lalim kepada mereka.” Karena hukum/keputusan Nabi saw. berdasarkan Syari’at yang ditegakkan di atas pondasi kezaliman. Atau karena mereka takut Nabi saw. memutuskan dengan zalim, kendati undang-undang Ilahi itu sendiri adli.

Tentu, alasan ketidak-patuhan dan keengganan mereka untuk bertakhim kepada Rasul saw. tidak keluar dari tiga kemungkinan… dan itu artinya mereka adalah orang-orang yang zalim. Yang dimaksud dengan zalim di sini adalah menentang keimanan walaupun secara lisan mereka mengakuinya.

Dan dari ketiga kemungkinan alasan di atas dapat disimpulkan bahwa keengganan mereka untuk datang bertahkim kepada Rasulullah saw. andai ia bukan kerena alasan kemunafikan, maka ia tidak akan keluar dari tiga alasan di atas. Dan setelah dicermati maka dapat dimengerti bahwa sebenarnya mereka itu bukan orang-orang yang beriman… mereka adalah kaum munafik. Sebab andai mereka bukan orang-orang munafik pastilah keengganan mereka bertahkin itu bisa jadi karena kelemahan iman mereka, atau keraguan akan kebenaran agama dan itu artinya telah hilang keimanan dari jiwa mereka, atau karena alasan ketiga yaitu mereka takut Allah dan Rasul-Nya menetapkan keputusan yang zalim.

Lalu Apa Kewajiban Kaum Mukminin Di Hadapan Keputusan Allah Dan Rasul-Nya?

Sikap kaum Mukminin seharusnya adalah seperti yang Allah firmankan:

إِنَّما كانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنينَ إِذا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَ رَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنا وَ أَطَعْنا وَ أُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An Nûr;51)

Inilah tuntutan watak dasar keimanan. Sesungguhnya tuntutan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengikat hati untuk mengikuti hukum Allah dan Rasul-Nya adalah menyambut dengan hati lapang dan pasrah ketetapan Allah dan Rasul-Nya…

Apabila mereka diajak oleh lawan sengketa mereka atau pihak ketiga agar mereka bertahkim kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka menyambut ajakan tersebut dengan ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Kepatuhan mutlak kepada seruan Ilahi untuk bertahkim kepada Mahkamah Allah dan Rasul-Nya. Makna ucapan mereka: “Kami mendengar…” adalah kami paham dan mengerti “dan kami patuh.” Kami siap bertahkim kepada Mahkamah Allah dan Rasul-Nya, dan kami siap menerima dan menjalankan keputusan apapun dari Rasul saw.  

Sambutan kaum Mukminin dengan ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Pada hakikatnya menunjukkan inti keimanan dan bahwa demikianlah seharusnya sikap kaum Mukminin. Adapun selainnya, maka ia bukan ucapan dan sikap kaum Mukminin. Dan hanya itu jalan satu-satu meraih kejayaan dan kesuksesan dunia- akhirat: “maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” Hanya merekalah yang mendapat kemenangan dan kejayaan serta kesuksesan, bukan selain mereka!

وَ مَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ وَ يَخْشَ اللَّهَ وَ يَتَّقْهِ فَأُولئِكَ هُمُ الْفائِزُونَ

Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul- Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An Nûr; 52)

Ayat ini sebagai penjelasan dan sekaligus menerangkan bahwa kepatuhan menerima keputusan Allah dan Rasul-Nya itu harus didasarkan kepada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang dibangun di atas pondasi keimanan kepada Allah dan RAsul-Nya dengan sepenuh arti keimanan yang tertanam dalam jiwanya rasa takut, khasyyah kepada Allah dan pada prilakunya tercermin ketaqwaan. Maka barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dalam keputusan yang ditetapkan, ia takut kepada Allah dan bertawqa kepada-Nya pasti mereka adalah orang-orang yang fâizûn.

Kata al Fâizûn diambil dari kata dasar al fauz. Secara bahasa ia memilki makna yang sangat dekat dengan kata al falâh yang disebutkan pada ayat sebelumnya, al Muflihûn, orang-orang yang meraih al falâh.

Ar Râghib al Ishfahâni [seorang Pakar Perkamusan Al Qur’an] menerangkan: “Al fauz artinya meraih kebaikan dengan disertai mendapat keselamatan.” Sedangkan kata al Falâh artinya, “Meraih apa yang diinginkan.”

Kata al Falâh sendiri memiliki makna dasar membelah. Karenanya petani dalam bahasa Arab dinamai al Fallâh karena dia yang membelah tanah untuk menanam biji/bibit. Begitu juga al Muflihûn, orang-orang yang meraih al falâh membelah jalan mereka menuju apa yag menjadi cita-cita dan keinginan mereka dan berhasil menyingkirkan segala rintangan yang menghalangi.

Dan patut diperhatikan di sini bahwa Allah telah menyebut tiga sifat kaum al Fâizûn, yang mana ketiga sifat itu merupakan syarat mutlak untuk meraih al fauz:

[1] Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

[2] Khasyyah, takut kepada Allah. Dan

[3] Taqwa kepada Allah.

Ketaatan itu hakikat yag umum, cabang batinnya adalah khasyyah, sedangkan ketaqwaan adalah cabang dzahirnya. Jadi ayat di atas sedang menyebut hakikat keimanan, yang mana ketaatan secara umum adalah konsekuansinya, kemudian menjelaskan pengaruh batiniahnya yaitu khasyyah dan pengaruh lahiriahnya yaitu ketaqwaan. Jadi keimanan tidak sekedar mengenal dan mengakui.

Ketiga sifat di atas juga bertingkat-tingkat kualitasnya, sebagaimana sesuai dengan tingkatan kualitas tersebut akan lahir tingkat ketaatan, khasyyah dan ketaqwaan yang juga berbeda. Tidak diragukan bahwa Ali bin Abi Thalib as. telah mencapai tingkat tertignggi dalam ketiga sifat di atas. Karena itu kita menemukan Imam Muhammad al Baqir as. menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemilik tiga sifat dalam ayat di atas adalah Ali bin Abi Thalib as.[1] Tentu tidak berarti ia menghilangkan keumuman kandungan ayat tersebut, tetapi riwayat itu ingin menegaskan bahwa Ali telah mencapai puncaknya dalam menyandang ketifa sifat mulia tersebut.

Catatan Akhir

Tentu janji Allah di atas berlaku bagi siapa saja yang telah melengkapi syarat-syarat di atas. Ia tidak terbatas hanya pada kaum Mukminin zaman Nabi saw. saja misalnya. Atau khusus berlaku bagi kaum Mukiminin di maza kejayaan Imam Mahdi as. kelak.

Benar, bahwa terwujudnya janji Allah di atas secara lengkap dan sempurna akan terjadi di masa kejayaan Islam di bawah kepempimpinan Imam al Mahdi as.; Ratu Adil yang dijanjikan Rasulullah saw.

___________

[1] Tafsir Al Amstal,9/115 menukil dai tafsir Nûr ats Tsaqalain,3/616, dan tafsir al Mîzân,15/159 menukil dari tafsir Majma’ al Bayân.

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Renungan Al Qur'an, Tafsir Tematik, Tak Berkategori. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar