Tafsir Surat Al-Fatihah [6]:   Hakikat Jalan yang Lurus

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Qs. Al-Fatihah: 6)

Setelah manusia menyerahkan dirinya kepada Tuhan alam semesta, dan naik ke tingkatan penghambaan kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya semata. Kemudian hamba ini mengajukan permintaan pertama kepada Penciptanya yakni hidayah/ petunjuk ke jalan yang lurus (الصراط المستقيم), jalan yang suci, jalan keadilan dan kebaikan, jalan iman dan amal soleh, sehingga ia dianugrahi nikmat hidayah oleh Tuhan-Nya setelah sebelumnya dianugrahi dengan nikmat-nikmat yang lain.

Manusia dalam tingkatan ini secara pasti adalah seorang mukmin dan seorang yang mengenal Tuhannya, akan tetapi dikarenakan adanya faktor-faktor pengganggu ia dapat terenggut dari nikmat ini dan menyimpang dari jalan yang lurus. Oleh karena itu dia perlu untuk mengulang-ulang setidaknya puluhan kali dalam sehari permohonan kepada Allah untuk menjaganya dari ketergelinciran dan penyimpangan.

(الصراط المستقيم) adalah agama Allah, dan ia memiliki tingkatan-tingkatan yang setiap kali manusia naik ke setiap tingkatannya maka akan ada tingkatan lain yang lebih jauh dan lebih tinggi. Seorang mukmin selalu ingin berjalan untuk naik ke tangga demi tangga ini dengan cepat, dan untuk itu dia perlu meminta bantuan dari Allah.

Terdapat pertanyaan yang muncul dalam pikiran banyak orang yakni mengapa kita meminta hidayah dari Allah menuju jalan yang lurus, apakah kita sedang tersesat sehingga kita butuh pada hidayah ini? Dan bagaimana hal semacam ini muncul dari para ma’sumin sementara mereka adalah contoh-contoh manusia yang sempurna?

Jawabannya adalah; Pertama: seorang manusia setiap saat dapat tergelincir dan menyimpang dari jalan hidayah, oleh karenanya dia perlu meminta bantuan dari Allah agar dia tetap berada di jalan yang lurus.

Sudah kami sebutkan sebelumnya bahwa kita dan semua hal yang ada di alam ini (dari sudut pandang tertentu) adalah serupa dengan lampu listrik. Cahaya yang terpancar dari lampu ini tergantung pada energi yang mengalir padanya yang berasal dari generator listrik. Generator ini setiap saat menghasilkan energi baru yang kemudian diantarkan melalui kabel ke lampu dan berubah menjadi cahaya.

Keberadaan kita serupa dengan lampu tersebut. Keberadaan ini pada hakikatnya adalah keberadaan yang kelangsungannya bergantung pada sumber wujud Pencipta. Kelangsungan wujud ini memerlukan aliran hidayah yang terus menerus, jika terjadi gangguan pada kabel maknawiyah yang menghubungkan kita dengan Allah seperti kedzaliman dan kejahatan maka hubungan kita akan terputus dengan Allah, dan secara tiba-tiba kita akan menyimpang dari jalan yang lurus.

Kita memohon kepada Allah dalam solat-solat kita agar Dia tidak membiarkan hubungan kita dengannya terputus karena gangguan semacam ini. Dan agar kita tetap berada di jalan yang lurus.

Kedua: hidayah adalah berjalan di jalan kesempurnaan, dan perjalanan ini adalah secara berangsur-angsur, di dalamnya manusia memutus tahap-tahap kekurangan untuk sampai pada tahap-tahap yang tinggi. Dan jalan kesempurnaan sebagaimana diketahui tidak terbatas, ia terus ada sampai tidak ada akhirnya.

Dari penjelasan-penjelasan di atas kini kita bisa memahami sebab permohonan bahkan yang diajukan oleh para nabi dan ma’sumin kepada Allah untuk memberikan petunjuk kepada mereka menuju jalan yang lurus. Maka kesempurnaan yang mutlak adalah milik Allah SWT, sedang yang selain-Nya sedang berjalan di jalan kesempurnaan, lalu apa masalahnya jika para ma’sumin memohon derajat yang lebih tinggi kepada Tuhannya? Kita bersolawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sementara solawat itu adalah rahmat Tuhan yang baru untuk Nabi Muhammad dan keluarganya, dan kedudukan yang lebih tinggi bagi mereka.

Rasulullah saw. bersabda:

رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Ya Tuhanku tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Qs. Thaha:114)

Dan Al-Quran Al-Karim menjawab:

وَ يَزِيْدُ اللهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى

“Dan Allah menambahkan petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk”. (Qs. Maryam: 76)

وَ الَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَ ءَاتَىٰهُمْ تَقْوَىٰهُمْ

“Dan  orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya”. (Qs. Muhammad: 17)

Ayat dan Riwayat yang Berkaitan dengan Tafsir (الصراط المستقيم)

Agar pemahaman tentang ayat ini bisa lebih jelas, berikut beberapa  ayat dan riwayat dari para Imam Ma’sum yang berkaitan dengan tafsir ayat.

Diriwayatkan dari Imam Ali Amirul Muiminin as. ketika menafsirkan ayat ini beliau berkata: “(اهدنا الصراط المستقيم) artinya adalah berikanlah taufik kepada kami yang dengannya kami dapat mentaati-Mu di hari-hari kami yang telah lalu, dan supaya kami (juga dapat) mentaati-Mu di sisa umur kami”.

Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. berkata: “maksudnya adalah bimbinglah kami untuk senantiasa berada di jalan yang mengantarkan kami kepada kecintaan-Mu, dan yang menyampaikan kami ke surga-Mu, dan mencegah kami dari mengikuti hawa nafsu kami sehingga kami merugi, atau kami mengambil pemikiran kami sehingga kami binasa”.

(الصراط المستقيم) disebutkan dalam Al-Quran dengan beragam istilah. (الصراط المستقيم) adalah agama yang benar dan merupakan jalan Ibrahim, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:

قُلْ إِنَّنِي هَدَىٰنِي رَبِّي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِيْنًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهيْمَ حَنِيْفًا وَ مَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik”. (Qs. Al-An’am: 161)

(الصراط المستقيم) juga menentang ibadah setan dan mengarahkan untuk beribadah kepada Allah SWT semata, sebagaimana firman-Nya:

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِيْ آدَمَ أَنْ لاَ تَعْبُدُوْا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ وَ أَنِ اعْبُدُوْنِي هٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu, dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus”. (Qs. Yasiin: 60-61)

Al-Quran juga mengungkapkan bahwa petunjuk ke jalan yang lurus adalah berpegang erat kepada Allah:

وَ مَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (Qs. Ali Imran: 101)

Dari sini dapat kita pahami bahwa jalan yang lurus (الصراط المستقيم) dalam mafhum Al-Quran adalah agama Allah dalam aspek akidah dan amaliah, karena agama ini adalah jalan paling dekat untuk terhubung dengan Allah SWT. Dari sini juga dapat dipahami bahwa agama hakiki itu hanya ada satu tidak lebih.

إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلاَمُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (Qs. Ali Imran: 19)

Terdapat beragam riwayat yang menjelaskan tentang beragam aspek tentang hakikat (الصراط المستقيم) yang semuanya kembali pada satu sumber dan pemahaman.

Rasulullah saw. bersabda:

إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطُ الْأنْبِيَاءِ، وَهُمُ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ

“Jalan yang lurus adalah jalan para Nabi, mereka adalah orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah”.

Dari Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. berkenaan dengan tafsir ayat ini beliau berkata:

(إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) الطَّرِيقُ هُوَ مَعْرِفَةُ الْإِمَامَةِ

“(Jalan yang lurus), jalannya adalah (melalui) pengenalan para Imam”.

Beliau as. juga berkata:

وَاللهِ نَحْنُ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ

“Demi Allah kamilah jalan yang lurus”.

Beliau as. juga berkata:

الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِينَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ

“Jalan yang lurus adalah Amirul Mu’minin as.”

Jelas bahwa Nabi saw., Ali as dan para Imam Ahlul Bait adalah orang-orang yang mengajak kepada agama Allah dan untuk senantiasa berpegang teguh dengannya baik dari segi keyakinan maupun prakteknya.

Berkaitan dengan mufradat ayat Ar-Raghib berkata: kata (الصراط المستقيم) mencakup makna istiqomah (lurus/ stabil), dan disifatinya jalan ini dengan mustaqim adalah sebagai penegasan akan sifat tersebut.[1]

 


[1] Tafsir Al-Amtsal, Jilid 1 Hal. 50

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tartibi. Tandai permalink.

Satu Balasan ke Tafsir Surat Al-Fatihah [6]:   Hakikat Jalan yang Lurus

  1. Ping balik: Tafsir Surat Al-Fatihah [6]:   Hakikat Jalan yang Lurus – Ali Zainal Abidin

Tinggalkan komentar