Keindahan Susunan dan Keserasian Ayat-ayat Surah Al Fatihah

Keindahan Susunan dan Keserasian Ayat-ayat Surah Al Fatihah

Susunan ayat-ayat dalam surah Al Fatihah ini memiliki keindahan keserasian yang luar biasa. Para ulama telah banyak mengungkapkan sisi keindahan dan keserasian itu. Di antaranya adalah apa yang dijelaskan Syeikh ath Thabarsi dalam tafsir Majma’ al Bayân-nya.

Syeikh ath Thabarsi –rahimahullah- berkata menjelaskan, “Ketika seseorang menyaksikan nikmat-nikmat Tuhan, di mana kondisi serba kekurangan, kelemahan dan kebutuhan manusia sebagai bukti nyata atasnya, maka ia membuka pembicaraan dengan menyebut nama Sang Pemberi nikmat, ia berkata, ‘Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyang.’ dan setelah mengakui keberadaan Sang Pemberi nikmat Yang Maha Esa, ia berangkat memuji-Nya dan berterima kasih kepada-Nya, maka ia berkata, ‘Segala puji bagi Allah.’ Dan ketika ia memahami betapa luas anugerah Ilahi dan ia mencakup segala sesuatu, maka ia berkata, ‘Rabbul ‘Âlamîn, Tuhan semesta alam.’  Dan ketika ia memahami bahwa disampin Allah SWT Tuhan, yang mengatur dan merawat semua keberadaan, dan Dialah yang menjamin rezeki mereka semua, saat itu ia mengakui akan Rahmat Allah yang mutlak [tanpa batas], maka ia berkata, ‘Ar Rahmân.’ Dan ketika ia menyaksikan maksiat para pelaku kerusakan dan bagaimana Allah memberi tangguh untuk mereka, dan menyaksikan ampunan Allah, lisanya mengucap mengakui rahmat khusus Allah untuk mereka, maka ia mengucapkan, ‘Ar Rahîm’. Dan ketika ia menyaksikan kezaliman sebagian manusia atas sebagian yang lain, ia mengakui akan adanya hari pembalasan yang mana kekuasan mutlak ada di tangan Allah, maka ia berkata, ‘Mâlik yaumiddîn, Penguasa/Raja yang menguasai hari pembalasan.

Dan setelah melalui tahapan-tahapan dan stasiun-stasiun dalam makrifat dan penyaksian Asmâ’ul Husnâ ini, ia meyakini bahwa hanya Allah lah yang pantas disembah, dan ia menyaksikan dirinya hadir di hadapan Allah, saat itu, berubalah pembicaraan dari mengabarkan kepada mengajak bicara langsung, maka ia berkata, ‘Hanya kepada-Mua kami menyembah.’ Dan ketika ia menemukan bahwa jalan penghambaan tidak mungkin dapat dilalui tanpa memohon bantaun kepada Allah, ia pun berkata, ‘Dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan’.

Dan ketika ia menyaksikan banyaknya jalan, dan para pejalan pun berbilang, ia memohon kepada Allah agar ditunjuki jalan terbaik untuk sampai kepada tujuan, maka ia berkata memohon, ‘Tunjukilah kami kepada jalan yang mustaqîm’.

Dan pada akhirnya, ketika ia mendapati bahwa menapaktilasi shirâth mustaqîm sendirian [tanpa rekan] itu berat dan ia merasa bahwa dirinya butuh kepada teman-teman yang menunjukinya jalan maka ia berkata, ‘Shirât-nya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.’ Dan agar dalam penjalananya, ia tidak ditemani oleh orang-orang yang asing dan kaum rusak, maka ia berkata, ‘Bukan jalan orang-orang yang tersesat dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai.’

Dan dengan kedua permohonan itu ia telah menggabungkan antara ber-tawalli kepada para kekasih Allah dan ber-tabarri dari musuh-musuh Allah.”[1]

Demikianlah keserasian dan keindahan susunan surah ini seperti yang diungkapkan Syeikh tah Thabarsi.

__________

[1] Tafsir Tasnîm,1/234-235 menukil dari Majma’u al Mayân,1/110.

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Renungan Al Qur'an, Tafsir Tartibi. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar