Keistimewaan Nabi saw. dalam al-Quran [1]: Nabi Sebagai Pengemban Kitab Allah

Nabi saw. yang merupakan seorang yang ummi[1] telah membawa sebuah kitab yang seluruh makluk dari orang-orang terdahulu hingga akhir zaman nanti baik dari kalangan jin maupun manusia tidak mampu menandinginya, hal itu sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT:

وَ إنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوْا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ إنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad) buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolong mu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.  (Qs. Al-Baqarah: 23)

Firman Allah diatas yang berbunyi (buatlah satu surat saja) merupakan perintah yang ingin menunjukan kelemahan lawan bicaranya untuk menegaskan kemukjizatan Al-Quran dan bahwa ia adalah kitab yang diturunkan dari sisi Allah, dan tidak ada keraguan dalam hal tersebut. Al-Quran merupakan mukjizat yang kekal sepanjang masa.

Kemukjizatan Al-Quran ini telah disebutkan berulang kali didalam firman-Nya seperti ayat yang berbunyi :

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوْا بِمِثْلِ هذَا الْقُرْءَانِ لاَيَأْتُوْنَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا 

“katakanlah :Sesungguhnyajika manusia dan jin berkumpul umtuk membuat yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lainn”. (Qs. Al-Isra’: 88)

 Maka berdasarkan hal ini dhamir (kata ganti – red) pada lafadz mitslihi (yang serupa dengannya) kembali ke firman Allah SWT mimma nazzalna (tentang Al-Quran yang Kami wahyukan) dan sekaligus menjadi penegasan tentang kemukjizatan Al-Quran itu sendiri serta keindahan gaya bahasa dan penjelasannya, mungkin juga dhamir tersebut kembali ke firman-Nya ‘abdina (hamba Kami (Muhammad)) sehingga ia menjadi penjelasan akan kemukjizatan Al-Quran dari sudut pandang bahwa yang membawa kitab tersebut adalah seorang ummi yang tidak pernah belajar dari seorang guru dan tidak pernah mendapatkan pengetahuan yang tinggi dan indah semacam ini dari siapapun.[2]

Allah menantang manusia dengan Nabi yang ummi dalam surat Yunus ayat 16:

قُلْ لَوْ شَاءَ اللهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَلاَ أَدْرَاكُمْ بِهِ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ

“Katakanlah: Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?”.

Nabi saw. hidup di tengah-tengah mereka dan menjadi bagian dari mereka namun keunggulan dan keilmuannya tidak pernah dikenal sebelumnya, beliau bahkan tidak pernah membawakan sebuah syair atau prosa pun hingga beliau berusia empat puluh tahun, kemudian pada dua pertiga akhir dari usianya tiba-tiba beliau membawa (sebuah kitab), beliau membawa sebuah kitab yang tidak mampu ditandingi oleh para penyair kenamaan mereka, dan orang-orang yang pandai berbicara dari kalangan mereka pun tidak mampu menirunya, kemudian beliau menyebarkannya ke penjuru alam, dan tak seorang pun yang berani menantangnya baik dari kalangan ilmuwan, cendikiawan ataupun yang memiliki kecerdasan khusus.[3]

Dalam kitab tafsir Al-Fakhr disebutkan tentang kemana kembalinya dhamir pada kata min mitslihi (yang semisal dengan-nya) ada dua pendapat: Yang pertama mengatakan bahwa ia kembali ke firman Allah SWT (apa (al-Quran) yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad)) sehingga maksudnya adalah maka buatlah satu surat yang sifatnya melebihi Al-Quran dalam keindahannya dan susunannya. Yang kedua mengatakan bahwa ia kembali pada lafadz abdina (hamba Kami (Muhammad)) yang maksudnya adalah bawakanlah seseorang yang lebih baik darinya dimana ia adalah seorang ummi yang tidak mampu membaca sebuah kitab dan tidak pernah belajar dari siapapun. Pendapat pertama diriwayatkan dari Amar bin Mas’ud dari Ibn Abbas dan al-Hasan dan mayoritas ulama’ tahqiq, pendapat ini lebih unggul dari yang kedua dengan beberapa alasan kemudian disebutkan lima alasan keunggulan pendapat ini, maka yang ingin mendapatkan keterangan lebih lengkap hendaknya merujuknya.

Dalam tafsir al-Manar disebutkan bahwa kembalinya dhamir  itu kepada lafadz ‘abdina, pendapat ini lebih unggul, hal ini dibuktikan dengan adanya min yang masuk pada lafadz mitslihi yang menunjukkan pada kemunculan yakni jika ada seseorang yang menyerupai Rasul yang ummi dan mampu membuat satu surat maka hendaknya ia melakukannya.[4]

Sayyid Quthbi mengatakan bahwa firman Allah ‘abdina adalah mensifati Rasul saw. dengan penghambaan kepada Allah SWT, dan pada sifat ini terdapat beragam petunjuk lengkap dalam permasalahan ini, yang pertama adalah untuk menjelaskan kemuliaan Nabi dan kedekatan penghambaan beliau kepada Allah SWT hal ini menunjukkan bahwa kedudukan penghambaan yang beliau miliki itu adalah kedudukan paling tinggi yang manusia diajak kepadanya, dan yang kedua adalah untuk menjelaskan makna penghambaan dalam mengajak seluruh manusia untuk menyembah kepada Tuhan mereka semata dan meninggalkan tuhan-tuhan palsu selain-Nya: Dialah Nabi yang berada pada maqom wahyu, ia berada pada maqom penghambaan kepada Allah, dan ia dimuliakan dengannya pada maqom ini, sehingga tantangan di sini merupakan hal yang mengherankan dan kenyataan bahwa ia tidak mungkin diwujudkan bahkan lebih mengherankan, kalau pun ada yang mampu mengingkarinya maka pastilah mereka tidak akan mampu meninggalkannya barang sejenak karena peluang di depan mereka terbuka lebar, maka jikalau mereka mampu membawa sesuatu yang dapat dijadikan sebagai jawaban dari tantangan ini niscaya hujjah al-Quran sudah runtuh, namun kenyataannya ini tidak terjadi dan tidak akan pernah terjadi.[5]

Dan dalam tafsir Abul Fida’ berkaitan dengan firman Allah SWT “Dan jika kamu tidak dapat membuatnya dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya” dalam penafian selamanya ini merupakan mukjizat lain, yakni Al-Quran telah memberitakan berita yang pasti dan lebih dulu tanpa takut dan khawatir ia menyatakan bahwa tidak akan ada yang bisa menyamai Al-Quran ini selamanya, demikianlah tantangan ini tetap berlanjut sampai saat ini; di mana tidak mungkin ada seseorang yang mampu membuat yang semisal al-Quran, karena ia adalah kalam Allah Yang menciptakan segala sesuatu, bagaimana mungkin ucapan Pencipta (khalik) sama dengan ucapan makhluk, dan barang siapa yang mau merenungkan al-Quran maka dia akan mendapati seni-seni nyata dan tersembunyi tentang kemukjizatan al-Quran baik dari segi lafadz maupun maknanya, al-Quran secara keseluruhan adalah kalam yang fasih pada puncak kefasihan bagi mereka yang memahami hal itu, sehingga jika kamu mau merenungi berita-beritanya maka kamu akan mendapatkannya berada pada puncak keindahan baik ia berupa perkataan yang panjang lebar ataupun ringkas, dan baik ia diulang-ulang ataupun  tidak, saat ia memberikan ancaman ia menggunakan kata-kata yang menggetarkan gunung-gunung yang kokoh lalu bagaimana dengan hati-hati yang memahaminya, dan pada saat ia memberikan janji ia membawakan sesuatu yang membuka hati dan telinga serta menjadikannya rindu ke alam kedamaian (alam akhirat – red) dan rindu untuk dekat dengan singgasana Sang Pengasih, sebagaimana firman Allah dalam memikat dan memotifasi hamba-Nya agar beramal baik: seseorang tidak akan mampu memahami kebahagiaan yang dirahasiakan untuk mereka sebagai balasan atas perbuatan baik yang telah mereka kerjakan, Allah SWT berfirman:

   وَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْأنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأعْيُنُ

“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata”. (Qs. Az-Zukhruf: 71)

Kemudian Allah SWT berfirman dalam memperingati hamba-Nya agar takut untuk berbuat maksiat:

أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ

 “Maka apakah kamu merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkir balikkan sebagian daratan bersama kamu”. (Qs. Al-Isra’: 68)

ءَأَمِنْتُمْ مَّنْ فِي السَّمَآءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُوْرُ

 “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”. (Qs. Al-Mulk: 16)

Demikian pula firman-firman Allah yang lain seperti penjelasan hukum-hukum syariat, penjelasan tentang al-Ma’ad, tentang kegentingan kondisi pada waktu itu serta gambaran tentang surga dan neraka.[6]

Kitab semacam inilah yang dipercayakan kepada Nabi Muhammad saw. untuk beliau bawa, lalu bagaimana mungkin ada orang lain yang mampu membawakan yang semisal dengannya sementara beliaulah yang menjadi pilihan Allah untuk mengemban kitab suci ini. Semoga rahmat dan berkah Allah selalu tercurah kepada beliau dan keluarga beliau yang disucikan.

[1] Nabi tidak (jarang sekali) menulis atau membaca, namun bukan berarti Nabi tidak bisa membaca dan menulis, Imam Jawad as. menyebutkan bahwa Nabi mampu membaca dan menulis dalam 70 bahasa, hanya saja beliau jarang mempraktekkannya karena adanya hikmah, yakni agar kaum musyrik tidak memiliki peluang untuk menuduh bahwa Al-Quran adalah buatan tangan Muhammad atau Muhammad mengambil (ilmu/ berita dalam) Al-Quran dari orang lain; dalam tafsiran lain juga disebutkan bahwa maksud dari Ummi adalah dinisbatkan kepada Ummi Al-Qura yakni Mekkah, sehingga makna Nabi Ummi adalah Nabi yang berasal dari Mekkah. untuk keterangan lebih lanjut terkait dengan makna Nabi Ummi dapat dirujuk dalam kitab-kitab tafsir yang membahas tentang permasalahan ini.

[2]Al-Mizan, Jilid 1 Hal. 56

[3] Ibid, Hal. 61

[4] Tafsir al-Fakhr, Jilid 1 Hal. 192

[5] Jilid 1, Hal. 53 beserta ringkasannya

[6]Jilid 1, Hal. 53 beserta ringkasannya

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tematik. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar