Keistimewaan Nabi saw. dalam al-Quran [2]: Nabi Muhammad Diistimewakan dengan Kiblat yang Beliau Sukai

Nabi saw. memiliki keistimewaan khusus terkait dengan tempat yang beliau suka untuk menjadi kiblat, hal ini dapat dipahami dari ayat yang berbunyi:

فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا

“Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai”. (Qs. Al-Baqarah: 144)

Kalimat ini berada dalam ayat yang membicarakan tentang perubahan kiblat, berikut adalah ayatnya:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (Qs. Al-Baqarah: 144).

Allamah Thabathabai dalam tafsir Al-Mizan mengatakan ayat di atas menunjukkan bahwa sebelum turunnya ayat tersebut Rasulullah saw. menengadahkan wajahnya ke langit, dan hal itu beliau lakukan untuk menanti dan mengharap turunnya wahyu yang  berkaitan dengan kiblat, dimana beliau ingin Allah SWT memuliakan beliau dengan kiblat yang dikhususkan untuk beliau namun bukan karena beliau tidak suka dengan Masjidil Aqsha sebagai kiblat, sebab rasa suka terhadap sesuatu tidak berarti ia benci kepada hal lainnya. Kaum Yahudi sesuai dengan riwayat yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat ini, mereka mengejek kaum muslimin karena telah mengikuti kiblat mereka dan mereka merasa bangga akan hal itu, maka Rasulullah saw. merasa sedih karenanya, beliau lalu keluar di malam yang gelap menengadahkan wajahnya ke langit sembari menunggu wahyu dari Allah SWT yang bisa mengobati kesedihan beliau, kemudian turunlah ayat ini, seandainya ayat yang turun itu menetapkan kiblat yang sebelumnya niscaya ia menjadi hujjah bagi kaum Yahudi dan tidak ada kehinaan bagi Rasulullah saw. serta kaum muslimin dengan menghadap ke kiblat mereka, dan bahwa kewajiban seorang hamba tidak lain adalah untuk mematuhi dan menerimanya. Akan tetapi ayat ini turun dengan kiblat baru sehingga ia mematahkan penghinaan dan kesombongan mereka di samping juga sebagai penetapan taklif, maka ia menjadi hujjah dan persetujuan dari Allah atas keinginan Rasul-Nya.[1]

Dalam kitab Majma’ Al-Bayan, disebutkan dari Ibn Abbas bahwa penyebab beliau ingin merubah kiblat ke Ka’bah adalah karena Ka’bah adalah kiblat kakek beliau Ibrahim as. dan kiblat kakek buyutnya, ada juga yang mengatakan penyebabnya adalah karena kaum Yahudi mengatakan: Agama kita berbeda dengan agama Muhammad namun dia mengikuti kiblat kita, ada yang mengatakan hal itu karena bangsa Arab mencintai Ka’bah dan sangat mengagungkannya sehingga menghadap ke arahnya adalah untuk memikat hati mereka agar mereka senang melaksanakan solat dengan menghadap kepadanya, dan Rasulullah saw. juga senang mengajak mereka ke agama Islam, semua pengertian di atas mungkin diterima karena tidak ada pertentangan di dalamnya, dalam ayat ini disebutkan: “Kiblat yang kamu sukai” maksudnya adalah adanya kecintaan Rasulullah pada Ka’bah untuk menjadi kiblat namun bukan berarti beliau tidak suka pada kiblat yang pertama.[2]

Dalam kitab ini disebutkan riwayat dari Ibn Abbas bahwa ia berkata: Baitullah secara keseluruhannya adalah kiblat dan kiblat darinya adalah pintunya, sedangkan Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang yang ada di Masjidil Haram, sementara Masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk tanah suci, dan tanah suci (Mekkah) adalah kiblat bagi seluruh penduduk bumi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan para sahabat kita: Bahwasanya tanah suci Mekkah adalah kiblat bagi seluruh penduduk bumi yang jauh dari Mekkah.[3]

Beberapa ulama’ tahqiq mengatakan: Di antara kesempurnaan (akhlak) Rasulullah saw. adalah bahwa beliau memilih untuk menunggu (wahyu dari Allah tentang perubahan kiblat) dan tidak memintanya, sisi inilah yang disukai oleh Allah, Ia pun kemudian memberikan apa yang beliau inginkan.[4]

Penulis kitab Al-Manar menukil dari gurunya Muhammad Abduh bahwa ia berkata: Sangat memungkinkan (penyebab dari keinginan beliau untuk berkiblat ke Ka’bah adalah karena) beliau rindu kepada kiblat Ibrahim as. sebagaimana beliau datang untuk menghidupkan kembali dan memperbarui dakwah Ibrahim, dan keinginan beliau ini tidak dianggap sebagai ketidak senangan terhadap perintah Allah dan mengutamakan keinginan beliau sendiri. Tidak demikian! Karena sesungguhnya keinginan para Nabi tidak dianggap sebagai penentangan terhadap perintah Allah SWT atau persetujuan terhadap keinginan-Nya, tapi derajatnya lebih detail dan samar yakni bahwa jiwa Nabi saw. telah terisi agama secara ringkas sebelum wahyu turun kepadanya dengan merinci permasalahan-permasalahannya.[5]

Dalam Al-Kasyaf disebutkan bahwa Rasulullah saw. mengharapkan Tuhannya untuk merubah kiblat ke Ka’bah karena ia adalah kiblat kakeknya Ibrahim as, dan supaya lebih mudah mengajak bangsa Arab untuk beriman karena Ka’bah adalah kebanggaan mereka dan tempat yang sering mereka kunjungi dan tempat mereka thawaf, dan untuk membedakan identitas  dengan bangsa Yahudi Jibril as. pun turun dengan membawakan wahyu tentang perubahan kiblat (dan Allah memberikan apa yang beliau inginkan).[6]

Waktu Perubahan Kiblat

Berkaitan dengan waktu terjadinya perubahan kiblat disebutkan bahwa hal itu terjadi pada bulan Rajab setelah tergelincirnya matahari pada saat Rasulullah saw. sedang melaksanakan solat bersama para sahabatnya di masjid Bani Salmah, di sana beliau melaksanakan solat dzuhur dua rakaat kemudian beliau berpindah dalam solatnya dan menghadap ke arah saluran air setelah itu jamaa’ah beliau yang laki-laki menggantikan tempat para wanita dan yang wanita menggantikan tempat laki-laki, masjid ini dinamakan dengan Masjid Qiblatain (dua kiblat – red).[7]

Diriwayatkan dari At-Thabrasi dari Imam Shadiq as. beliau berkata: Kiblat telah berubah ke Ka’bah setelah Rasulullah saw. melaksanakan solat di Mekkah dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha – red) selama dua puluh tiga tahun. Dan setelah beliau hijrah ke Madinah beliau solat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama tujuh bulan, Imam melanjutkan: Kemudian Allah menghadapkan beliau ke Ka’bah, hal itu adalah karena bangsa Yahudi telah mengejek Rasulullah saw. dan berkata: Engkau mengikuti kami, kamu solat dengan menghadap ke arah kiblat kami, hal itu membuat Rasul saw. sangat sedih, beliau kemudian keluar di tengah malam memandang ke langit dan menunggu titah dari Allah berkaitan dengan hal itu, ketika memasuki waktu pagi dan tiba waktu solat dzuhur beliau pergi ke masjid Bani Salim, saat beliau telah melaksanakan solat dzuhur dua rokaat tiba-tiba Jibril turun memegang kedua lengan beliau sembari memalingkan beliau ke arah Ka’bah dan menurunkan ayat berikut kepada beliau:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”.

Pada saat itu Rasul saw. melaksanakan solat dua rokaat dengan menghadap ke Baitul Maqdis dan dua rokaat dengan menghadap ke Ka’bah. Maka kaum Yahudi dan orang-orang dungu berkata:

مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا

“Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblat mereka (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?”. (Qs. Al-Baqarah: 142)[8]

Diriwayatkan dari Imam Hasan Al-Askari as. bahwa satu kaum dari bangsa Yahudi mendatangi Rasulullah saw. mereka berkata: Wahai Muhammad, engkau telah melaksanakan solat selama dua puluh empat tahun dengan menghadap ke kiblat ini (Baitul Maqdis), kemudian engkau sekarang meninggalkannya, apakah yang telah kamu lakukan itu adalah kebenaran (berkiblat ke Baitul Maqdis – red) lalu (mengapa) engkau meninggalkannya dan memilih kebatilan, ataukah ia merupakan kebatilan namun (mengapa) engkau melakukannya selama ini, lalu apa yang bisa membuat kami percaya bahwa engkau sekarang tidak berada dalam kebatilan?. Rasul saw. menjawab: Hal itu adalah benar dan ini juga benar, Allah SWT berfirman:

قُلْ للهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ إلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (Qs. Al-Baqarah: 142)

Jika Allah mengetahui kebaikan bagi kalian dengan menghadap ke arah timur niscaya Ia telah memerintahkan kalian untuk melakukannya dan jika Allah mengetahui adanya kebaikan bagi kalian dengan menghadap ke arah barat niscaya Ia telah memerintahkannya pula, dan apabila Allah mengetahui bahwa kebaikan bagi kalian bukan pada keduanya niscaya Ia telah memerintahkan kalian untuk tidak menghadap pada keduanya, maka janganlah kalian mengingkari pengaturan Allah kepada hamba-hamba-Nya dan keinginan-Nya untuk memberikan yang terbaik kepada kalian.[9]

Hikmah dari Perubahan Kiblat

Seseorang bertanya kepada Imam Hasan Al-Askari as.: Wahai putra Rasulullah mengapa Allah SWT memerintahkan untuk menghadap ke kiblat yang pertama? Beliau menjawab: Alasannya adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Azza Wa Jalla:

وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ

“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang dahulu menjadi kiblatmu (Baitul Maqdis) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot”. (Qs. Al-Baqarah: 143)

Tujuannya adalah untuk mengetahui (membuktikan) bahwa itu benar-benar terjadi dan Allah telah mengetahuinya bahwa hal itu akan terjadi (itmamul hujjah). Hal itu adalah karena penduduk Mekkah sangat mencintai Ka’bah maka Allah ingin membuktikan siapa yang mengikuti Muhammad dan siapa yang menentangnya dengan menghadap ke kiblat yang tidak mereka sukai (Baitul Maqdis), sedang Muhammad adalah orang yang memerintahkannya. sementara saat penduduk Madinah suka menghadap ke Baitul Maqdis Allah memerintahkan untuk berpaling darinya dan menghadap ke Ka’bah untuk membuktikan  siapa yang tetap taat kepada Muhammad dalam hal yang tidak ia sukai. Kemudian Allah SWT berfirman:

وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ

“Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah”. (Qs. Al-Baqarah: 143)

Sesungguhnya perintah menghadap ke Baitul Maqdis pada waktu itu terasa sangat berat bagi mereka kecuali bagi orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah maka mereka memahami bahwa terkadang Allah disembah dengan cara yang berlawanan dengan apa yang diinginkan oleh seorang hamba untuk menguji ketaatannya saat harus melakukan hal yang bertentangan dengan keinginannya.[10]

Berkaitan dengan hikmah pemindahan kiblat dan diistimewakannya kaum muslimin dengan kiblat yang khusus untuk mereka Sayyid Quthbi mengatakan; ini adalah kejadian yang agung dalam sejarah umat Islam dan di dalamnya terdapat pengaruh yang jelas dalam kehidupan mereka. Pertama kiblat berubah dari Ka’bah ke Masjidil Aqsha adalah karena adanya hikmah pendidikan di dalamnya hal ini ditunjukkan oleh ayat; Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang dahulu menjadi kiblatmu (Baitul Maqdis) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.

Dahulu pada masa jahiliyah bangsa Arab sangat mengagungkan Baitul Haram dan menganggapnya sebagai simbol kemuliaan mereka. Islam ingin memurnikan hati mereka hanya untuk Allah dan mengosongkannya dari keterkaitan kepada selain-Nya. Serta menyelamatkannya dari setiap kelompok dan golongan non-Islam. Mulanya Allah memindahkan kiblat mereka dari Baitul Haram dan memilih Masjidil Aqsha untuk menjadi kiblat mereka sementara waktu untuk mensucikan hati mereka kotoran-kotoran jahiliyah dan dari segala hal yang berkaitan dengannya di masa jahiliyah dan untuk mengungkap siapa yang mengikuti Rasul dengan penuh ketaatan, kesetiaan dan kerelaan dan siapa yang berbelot dan tetap berbangga dengan kejahiliyahan mereka yang berkaitan dengan ras, bangsa, tanah air dan sejarah mereka.

Dan ketika kaum Muslimin telah berserah diri (kepada Allah) dan menghadap ke arah kiblat (Masjidil Aqsha) yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, pada waktu yang sama kaum Yahudi mulai mengejek dan menganggap hal ini sebagai hujjah bagi mereka. Lalu muncul titah Tuhan untuk kembali menghadap ke Masjidil Haram namun disertai dengan hakikat lain yang ditanamkan dalam jiwa kaum muslimin yakni hakikat Islam, hakikat bahwa rumah ini adalah tempat yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail hanya untuk Allah dan untuk menjadi warisan umat Islam yang muncul setelahnya sebagai jawaban dari doa Ibrahim kepada Tuhannya untuk mengutus seorang Rasul dari kalangan mereka yang mengajak kepada Islam yang (dahulu juga) ia tegakkan bersama putera dan para pengikutnya.[11]

Terjadinya perubahan kiblat kaum muslimin ke Masjidil Haram yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail serta adanya doa keduanya tersebut menunjukkan bahwa menghadap ke Masjidil Haram itu adalah hal yang alami, logis dan merupakan warisan turun-temurunan kaum muslimin dari agama Ibrahim serta sesuai dengan perjanjian Ibrahim dengan Tuhannya.

Dan alasan kaum muslimin sementara waktu diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Aqsha yang juga menjadi kiblat bangsa Yahudi dan Nasrani, itu adalah karena adanya hikmah khusus yang ditunjukkan oleh ayat (agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul) dan ketika Allah menghendaki untuk menyerahkan warisan (Ibrahim) kepada umat muslim datanglah perintah perubahan kiblat; yakni perubahan kiblat ke rumah Allah yang pertama yang dibangun oleh Ibrahim untuk membedakan kaum muslimin dengan keistimewaan warisan yang bersifat emosional, warisan agama, warisan kiblat dan warisan kebaikan dari Allah. Hal ini adalah karena pengkhususan dan pembedaan adalah hal yang penting bagi kaum muslimin.[12]

[1] Jilid 1 Hal. 328

[2] Jilid 1 Hal. 227

[3] ibid

[4] Al-Manar, Jilid 2 Hal. 15

[5] Ibid, Hal. 14

[6] Jilid 1 Hal. 202

[7] Ibid

[8] Tafsir Al-Burhan, Jilid 1 Hal. 340

[9] Nur ats-Tsaqalain, Jilid 1 Hal. 112

[10] Hadis Nur Ats-Tsaqalain, Jilid 1 Hal. 114

[11] Tafsir Quthbi, Jilid 1 Hal. 174

[12] Ibid, Hal 175

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tematik. Tandai permalink.

Satu Balasan ke Keistimewaan Nabi saw. dalam al-Quran [2]: Nabi Muhammad Diistimewakan dengan Kiblat yang Beliau Sukai

  1. mamad berkata:

    Bagus. Menarik sajiannya.

    Suka

Tinggalkan komentar