Tafsir Surat al Hujurat [12]: Mengapa Tidak Diperbolehkan Mengungkit-ungkit Keimanan?

قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

 “Katakanlah: “apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (al-Hujurat: 16)

Sabab Nuzȗl Ayat

Berkaitan dengan sebab turunnya ayat ini sekelompok ahli tafsir mengatakan bahwa setelah ayat sebelumnya turun sekelompok orang Arab mendatangi Nabi saw dan mereka bersumpah bahwa mereka jujur tentang pengakuan mereka sebagai orang mukmin dan apa yang tampak dari mereka di luar adalah sama dengan yang di dalam batin mereka maka turunlah bagian pertama dari ayat ini memberikan peringatan kepada mereka untuk tidak bersumpah karena sesungguhnya Allah mengetahui batin dan dzahir mereka dan tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tersembunyi dari-Nya.[1]

Keterangan:

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَداكُمْ لِلْإِيمانِ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (al-Hujurat: 17)

Berikut adalah tafsiran secara umum ayat enam belas sampai delapan belas dari surat al-Hujurat:

Ayat sebelumnya menjelaskan tentang tanda-tanda orang mukmin yang sejati, dan telah disebutkan sebelumnya bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah adanya sekelompok orang yang mendatangi Nabi saw. dan mereka mengatakan bahwa pengakuan mereka adalah benar dan bahwa keimanan sudah menetap di dalam hati mereka, maka dua ayat ini memperingatkan dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka tidak perlu bersikeras dan bersumpah akan hal itu.

Penjelasan dan peringatan ini juga untuk orang-orang yang serupa dengan mereka, maka permasalah kafir dan iman adalah hal yang diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat-ayat ini juga mengandung celaan dan kecaman diamana ayat pertama mengatakan: “Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi” dan sebagai penekanan lebih lanjut ayatnya mengatakan: “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Maka Dzat Allah itu adalah ilmu Allah itu dan ilmu Allah itu adalah Dzat-Nya sendiri, oleh karenanya ilmu Allah itu bersifat azali (tidak didahului oleh ketiadaan – red) dan abadi (tidak diakhiri dengan ketiadaan – red).

Dzat Allah SWT ada di semua tempat dan Dia lebih dekat dengan kalian melebihi urat leher kalian sendiri dan Allah membatasi antara manusia dan hatinya, oleh karena itu kalian tidak perlu mengaku-ngaku karena Dia bisa membedakan orang-orang yang jujur dengan yang berbohong dan Dia juga mengetahui apa yang ada di dalam jiwa mereka bahkan derajat keimanan mereka yang lemah ataupun yang kuat dan Dia mengetahui diri mereka dengan sangat jelas, lalu untuk apa kalian bersikeras memeberitahu Allah tentang keimanan kalian?

Kemudian al-Quran menggunakan ungkapan orang-orang Arab untuk kaum Badui yang merasa telah memberikan nikmat kepada Nabi karena mereka telah masuk Islam dan mengakui agamanya pada saat kabilah-kabilah Arab lainnya memusuhi beliau. Maka al-Quran menjawab ucapan mereka dengan ayat “Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”.

Al-minnah sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah sebuah wazan khusus yang kemudian digunakan untuk setiap nikmat yang mahal dan berharga, al-Minnah (anugrah / kebaikan) ada dua macam; jika di dalamnya ada sisi amaliah (tindakan) seperti memberikan nikmat dan anugrah maka ini adalah terpuji dan nikmat-nikmat Allah termasuk ke dalam kategori ini kemudian jika di dalamnya ada sisi lafdzi (ucapan) seperti kebanyakan manusia yang menyebut-nyebut kebaikan setelah ia melakukannya maka ini adalah buruk dan tidak terpuji.

Pada permulaan ayat dikatakan: “Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka” dan ini adalah penekanan lain bahwa mereka bukanlah orang-orang yang benar-benar beriman.

Dalam kitab al-Mizan disebutkan bahwa mereka salah jika merasa telah memberikan nikmat kepadamu (Nabi) dengan keislaman mereka dan hal ini karena dua hal; yang pertama hakikat nikmat yang mereka ungkit-ungkit adalah keimanan yang merupakan kunci kebahagiaan dunia dan akhirat bukanlah keislaman yang berfaedah untuk menjaga darah dan diperbolehkannya pernikahan dan warisan, kemudian yang kedua adalah bahwa Nabi tidak memiliki peranan apa-apa dalam agama kecuali ia adalah seorang Rasul yang diperintahkan untuk menyampaikan (agama) maka tidak dibenarkan seseorang mengungkit-ungkit kebaikannya karena telah masuk Islam kepada beliau.

Seandainya pun ada seseorang yang ingin mengungkit-ungkit kebaikannya seharusnya ia lakukan kepada Allah SWT karena agama ini adalah agama-Nya tetapi tidak dibenarkan seseorang melakukan hal itu kepada Allah karena yang mendapatkan manfaat dari agama di dunia dan akhirat adalah mereka yang beriman bukan Allah yang Maha Kaya sehingga yang pantas mengungkit-ungkit kebaikan adalah Allah karena hidayah yang Ia berikan kepada mereka.

Dalam ayat ini disebutkan setelah mereka mengungkit-ungkit keislaman mereka, al-Quran menepisnya dengan menyebutkan (“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan”) untuk menunjukkan bahwa kebaikan atau karunia itu adalah dengan keimanan bukan keislaman yang memberikan manfaat dzahir saja kepada mereka.

Ayat ini mengisyaratkan kepada mereka akan kesalahan mereka dari dua sisi; yang pertama kesalahan mereka mengarahkan al-mannu (mengunggkit-ungkit) kepada Nabi saw. sedang beliau tidak lain hanyalah seorang Rasul yang tidak punya andil apa-apa, hal ini diisyaratkan oleh ayat yang berbunyi: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu” kemudian kesalahan kedua adalah al-mannu (seandainya memang ada) seharusnya dengan keimanan bukan dengan keislaman, hal ini diisyaratkan oleh ayat yang menggantikan Islam dengan iman.

An-Nasa’i, al-Bazaz dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari Ibn Abbas, dia berkata: “Bani Asad mendatangi Rasulullah saw dan berkata: “Wahai Rasulullah kami telah masuk Islam sementara orang-orang Arab yang lain memerangimu tapi kami tidak memerangimu, maka turunlah ayat ini: “Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka”.

Kemudian di akhir ayatnya dikatakan: “Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”. Bagaimanapun ini adalah permasalahan yang penting yang harus dipahami oleh banyak orang bahwa dengan beriman dan melakukan ibadah-ibadah dan ketaatan mereka sedang berkhidmat untuk Allah dan Nabi saw. serta para washinya dan oleh karena itu mereka juga sedang menantikan pahala dan balasan.

Pada saat cahaya keimanan memancar dalam hati seseorang dan ia mendapatkan taufik ini yakni dengan masuk ke dalam golongan orang mukmin maka ia telah diliputi oleh kasih sayang dari Allah.

Iman memberikan pengetahuan yang baru tentang alam wujud, menyingkap hijab kebatilan dan kebohongan darinya dan memperluas cara pandangnya kemudian meberikan cahaya ke dalam hatinya dan mendidiknya, menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya, menganugrahkan ilmu, kekuatan, keberanian, pengorbanan, memaafkan, toleransi serta keikhlasan dan  menjadikannya manusia yang kuat yang memiliki manfaat dan kegunaan setelah menjadi wujud yang lemah. Lalu apakah ini nikmat yang Allah anugrahkan kepada manusia ataukah apa yang mereka ungkit-ungkit kepada Nabi?

Demikianlah setiap ibadah dan ketaatan adalah langkah menuju kesempurnaan dimana ia membuat hati menjadi bersih dan menguasai syahwat serta menguatkan keikhlasan di dalamnya dan menganugragkan persatuan, kekuatan dan kemuliaan kepada masyarakat Islam, dan semua ini adalah tahapan-tahapan untuk mencapai kesempurnaan.

Tugas manusia adalah mensyukuri nikmat-nikmat dari Allah dan bersyukur kepada Allah setiap selesai solat dan beribadah kepada-Nya serta bersyukur kepada Allah atas semua hal ini. Jika pandangan manusia ada pada tingkatan keimanan dan ketaatan seperti ini maka dia tidak akan melihat bahwa dirinya berbuat kebaikan tetapi ia akan menganggap bahwa dirinya lebih banyak berhutang budi kepada Allah dan Nabi-Nya. Ia akan beribadah kepada-Nya dengan penuh sesal serta berusaha konsisten di jalan ketaatan kepada-Nya dan jika Allah mengganjarnya dengan pahala maka ini adalah kebaikan lain dari-Nya, dan walaupun tidak diganjar maka sesungguhnya melakukan kebajikan itu manfaatnya adalah untuk manusia itu sendiri dan pada hakikatnya hal ini menambah timbangan (kebaikan)-nya di sisi Allah.

Maka hidayah dari Allah –berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya- adalah taufik dari Allah dan dakwah Nabi saw. adalah taufik lain dan taufik untuk taat adalah taufik yang berlipat ganda kemudian pahala adalah taufik di atas taufik (luthf fauqa luthf).

Di akhir ayat dari surat ini ada pengokohan lain terhadap ayat di atas dimana ayatnya mengatakan:

إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (al-Hujurat: 18)

Ayat ini adalah penutup dari surat al-Hujurat dan merupakan penguat yang menjelaskan alasan dan menguatkan semua ayat sebulumnya dalam surat ini tentang larangan, perintah dan hakikat-hakikat yang diberitakan di dalamnya tentang keimanan suatu kaum dan ketidak-berimanan yang lainnya maka ayat ini menjelaskan alasan atas semua hal itu. Dan yang dimaksud dengan “apa yang ghaib di langit dan di bumi” adalah sesuatu yang ghaib (tersembunyi / tidak kasat mata) di langit dan di bumi atau lebih umum dari keduanya.

Ayat ini ingin mengatakan “Kalian tidak perlu berteriak mengatakan bahwa kalian adalah orang-orang mukmin sejati dan tidak perlu bersumpah akan hal itu karena sesungguhnya Allah hadir di sudut hati kalian, Dia Maha Mengetahui apa yang terjadi dan mengetahui semua yang di langit dan di bumi, lalu bagaimana mungkin Ia tidak tahu apa yang ada dalam hati kalian?”.

Ya Allah Engkau telah anugrahkan cahaya keimanan ke dalam hati kami, maka kami bersumpah kepadamu dengan keagungan nikmat hidayah agar Engkau kokohkan kaki-kaki kami di jalan ini, jalan yang mengantarkan kami kepada kesempurnaan.

Oh Tuhan kami, Engkau Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati kami, Engkau mengetahui niatan-niatan kami, maka Tutupilah kejelekan-kejelekan kami, dan perbaikilah keburukan diri kami dengan kemuliaan-Mu

Wahai Tuhan Pemelihara kami, berilah kemudahan kepada kami untuk menghiasi diri kami dengan sifat-sifat yang terpuji dan akhlak-akhlak mulia yang Engkau sebutkan dalam surat ini, sehingga sifat-sifat dan akhlak-akhlak itu dapat mengakar dalam wujud kami dan masuk ke dalam jiwa dan pikiran kami.. Amin Ya Rabbal alamin.

Selesai.

[1] Tafsir Majma’ al-Bayan; Tafsir al-Mizan; Tafsir Ruh al-Bayan; Tafsir al-Qurthubi

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tartibi. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar