Tafsir Surat al Hujurat [10]: Kenapa Allah Menciptakan Manusia Berbeda-Beda? Dan Apa Kemuliaan yang Sebenarnya Menurut Al Quran?

Tafsir Surat al Hujurat [10]: Kenapa Allah Menciptakan Manusia Berbeda-Beda? Dan Apa Kemuliaan yang Sebenarnya Menurut Al Quran?

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَقَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13)

Keterangan:

Ketakwaan Merupakan Nilai Kemanusiaan yang Paling Tinggi 

Pada ayat sebelumnya khitob yang digunakan ditujukan kepada orang-orang mukmin di mana ayatnya berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman”. sedangkan pada ayat ini khitobnya adalah untuk seluruh manusia dan menjelaskan tentang dasar penting yang menjamin tatanan dan ketetapan serta membedakan nilai hakiki kemanusiaan dari nilai-nilai palsu dan batil. Maka ayatnya mengatakan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.

Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat di atas adalah melarang untuk berbangga diri dengan menggunakan nasab, maka maksud dari ayat “dari seorang laki-laki dan seorang perempuan” adalah Adam dan Hawa maknanya adalah Kami menciptakan kalian dari ayah dan ibu yang sama tanpa ada perbedaan antara yang berkulit putih dan hitam serta yang Arab dan non-Arab dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan untuk saling memuliakan diri kepada yang lainnya tapi agar kalian saling mengenal sehingga sebagian kalian bisa mengenal sebagaian lainnya dan dengan begitu sempurnalah urusan sosial kalian dan hubungan kalian menjadi baik, inilah tujuan kenapa Allah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan untuk membanggakan diri dengan nasab atau dengan ayah dan ibu kalian.

Pendapat lain mengatakan bahwa maksud dari ayat “dari seorang laki-laki dan seorang perempuan” adalah laki-laki dan perempuan secara mutlak, dan ayat di atas adalah untuk menolak sikap mengutamakan diri dengan kelas-kelas secara mutlak seperti kulit putih dan hitam, Arab dan non-Arab, kaya dan miskin, majikan dan budak serta laki-laki dan perempuan, dan maknanya adalah wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan maka setiap orang dari kalian adalah manusia yang dilahirkan dari dua orang manusia dan kalian tidak punya perbedaan dari sisi ini, dan perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku di antara kalian bukanlah untuk memuliakan atau mengutamakan diri tapi agar kalian saling mengenal sehingga dengan itu sempurnalah urusan sosial kalian.

Dalam kitab al-Amtsal disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan” adalah asal penciptaan dan pengembalian nasab manusia kepada Adam dan Hawa maka selama seluruh manusia berasal dari satu akar tidak diperbolehkan satu kabilah membanggakan diri atas yang lainnya dari segi nasab, dan Allah SWT menciptakan setiap kabilah dan memberikan mereka kekhususan dan tugas tertentu itu adalah untuk menjaga tatanan kehidupan sosial manusia,  karena keragaman ini memancing manusia untuk saling mengenal, dan tatanan dalam masyarakat tidak akan tegak kecuali dengan pengenalan individunya, karena jika mereka memiliki model yang sama maka fitnah dan kekacauan akan menguasai masyarakat.

Makna Kata as-Syu’ub dan al-Qabail 

Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menjelaskan perbedaan antara as-syu’ub yang merupakan jamak dari kata sya’b (sekelompok besar manusia) dan al-qaba’il jamak dari qabilah, berkaitan dengan hal ini mereka memiliki beragam asumsi.

Sebagiannya mengatakan bahwa cakupan as-sya’b lebih luas dari cakupan qabilah sebagaimana yang populer pada saat ini as-sya’b digunakan untuk bangsa tertentu yang besar. Sedang sebagian lainnya mengatakan bahwa kata as-sya’b digunakan untuk sekelompok orang Ajam adapun ¬al-qabilah adalah isyarat untuk sekelompok orang Arab. Sebagian lainnya mengatakan bahwa as-sya’b adalah isyarat untuk orang-orang yang dinisbatkan kepada daerah geografis yang mereka tinggali sedangkan al-qabail adalah isyarat untuk orang-orang yang dinisbatkan kepada keringat dan darah. Tetapi tafsiran yang pertama lebih cocok dari pada yang lainnya sebagaimana dzahir ayatnya.

Dalam Kitab al-Mizan disebutkan bahwa As-syu’ub adalah jamak dari As-sya’b sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Majma’ ia adalah sekumpulan besar dari manusia seperti suku Rabiah dan Madhar, sedangkan al-qabail jamak dari al-qabilah adalah di bawah (lebih kecil dari) As-sya’b seperti Tamim dari suku Madhar. Dan pendapat lain mengatakan bahwa As-syu’ub berada di bawah al-qabail dan dinamakan dengannya karena ia berkelompok-kelompok, ar-Raghib mengatakan: As-sya’b adalah al-qabilah yang berkelompok-kelompok dari satu kampung dan jamaknya adalah As-syu’ub. Pendapat lainnya mengatakan bahwa As-syu’ub adalah sekumpulan orang-orang non-Arab sedangkan al-qabail adalah sekumpulan orang-orang Arab.

Sabab Nuzȗl Ayat

Terkait dengan sebab turunnya ayat ini, diceritakan bahwa setelah penaklukan kota Mekah Nabi saw. memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan, maka bilal pun naik ke atas Ka’bah  dan mengumandangkan adzan, lalu Attab bin Asid berkata: “Aku bersyukur kepada Allah karena ayahku telah meninggal dunia dan tidak melihat hari semacam ini”, kemudian al-Harits bin Hisyam berkata: “Apakah Rasulullah tidak dapat menemukan orang lain untuk mengumandangkan adzan selain gagak hitam ini?” Maka turunlah ayat di atas menjelaskan tentang standar nyata dari nilai kemuliaan seseorang.

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun ketika Rasulullah saw. memerintahkan untuk menikahkan beberapa budak / orang-orang non-Arab dengan anak-anak perempuan keturunan Arab. Maka mereka terheran-heran dan berkata: “Wahai Rasulullah apakah engkau memerintahkan kami untuk menikahkan anak-anak perempuan kami dengan para budak?” Maka turunlah ayat ini dan membatalkan pemikiran-pemikiran takhayul ini.

Dalam kitab al-Kafi disebutkan dari Abu Bakar al-Hadhrami dari Abi Abdillah as berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw menikahkan Miqdad bin al-Aswad dengan Dhuba’ah binti az-Zubair bin Abdul Muththalib, beliau menikahkannya agar mereka tahu bahwa yang paling mulia di antara mereka di Sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka.

Riwayat-Riwayat yang Berkaitan dengan Ayat ini:

Dalam beberapa riwayat Islam diceritakan bahwa suatu hari Nabi saw. berkhutbah di Mekah dan berkata: “Wahai manusia sesungguhnya Allah telah menghilangkan aib Jahiliyah dari pada kalian yang mengagungkan diri mereka dengan ayah-ayah mereka. Sesungguhnya manusia itu ada dua macam yakni orang yang baik, bertakwa dan mulia di sisi Allah kemudian orang yang jahat, celaka dan terhina di sisi Allah. Dan manusia semuanya adalah keturunan Adam yang Allah ciptakan dari tanah, Allah SWT berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Disebutkan dalam kitab Adab An-Nufus karangan At-Thabrasi bahwa Nabi saw memalingkan wajahnya kepada orang-orang pada saat beliau sedang menunggangi untanya di hari Tasyriq di Mina (yakni hari kesebelas, kedua belas dan ketiga belas bulan Dzulhijjah) lalu beliau bersabda:

يا أيها الناس الا ان ربكم واحد و ان اباكم واحد الا لا فضل لعربي على عجمي و لا لعجمي على عربي و لا لأسود على احمر و لا لأحمر على أسود الا بالتقوى الا هل بلغت قالوا: نعم قال: ليبلغ الشاهد الغائب

“Wahai manusia ketahuilah sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu ketahuilah tidak ada keutamaan yang dimiliki oleh orang Arab atas orang non-Arab dan tidak pula orang non-Arab atas orang Arab, dan tidak pula orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah dan tidak pula orang yang berkulit merah atas orang yang berkulit hitam kecuali dengan ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikannya (kepada kalian), mereka berkata: Iya, beliau berkata: hendaknya yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir”.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits lain yang maknanya serupa dengan hadits di atas dalam kata-kata yang pendek namun memiliki makna yang luas yakni bahwa Rasulullah saw bersabda:

إن الله لا ينظر الى احسابكم و لا الى انسابكم و لا الى اجسامكم و لا الى اموالكم و لكن ينظر الى قلوبكم، فمن كان له قلب صالح تحنن الله عليه و انما انتم بنو آدم و احبكم اليه اتقاكم.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kemuliaan leluhur kalian dan tidak pula pada nasab-nasab kalian dan tidak pula pada fisik kalian dan tidak pula pada harta-harta kalian tetapi Dia melihat kepada hati kalian, maka barang siapa memiliki hati yang baik Allah akan menyayanginya dan sesungguhnya kalian adalah keturunan Adam dan yang paling dicintai Allah di antara kalian adalah yang paling bertakwa”.

Nilai Kemuliaan yang Hakiki dan yang Palsu

Setelah al-Quran menggugurkan keutamaan dengan menggunakan nasab dan kabilah, ia mengarahkan pada standar nilai yang hakiki dengan mengatakan: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”. 

Demikianlah al-Quran mencoret dengan tinta merah semua keistimewaan-keistimewaan fisik dan materi seraya memberikan kepastian terhadap permasalahan takwa dan takut kepada Allah dengan mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih utama dan mulia dari takwa yang merupakan karakter jiwa dan batin yang harus menancap dalam hati dan jiwa sebelum hal apapun.

Dalam kitab tafsir al-Mizan deisebutkan bahwa ayat “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” menjelaskan apa yang menjadi kemuliaan di sisi Allah SWT, yakni sebagaimana yang telah dijelaskan di awal ayat bahwa manusia mereka semuanya sama tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya dan tidak ada yang lebih utama dari yang lainnya, dan bahwa perbedaan dari segi bangsa atau suku itu hanyalah agar mereka saling mengenal dan dengan demikian juga bisa menjadi masyarakat yang kokoh dan tolong menolong dan inilah tujuan dari penciptaan bangsa dan suku yang berbeda-beda bukan untuk membanggakan diri dengan nasab dan mengaku lebih utama karena hal-hal seperti kulit putih atau hitam sehingga sebagiannya memperbudak sebagian yang lainnya dan menyebabkan munculnya kerusakan di muka bumi dan kehancuran.

Pada ayat tersebut Allah SWT menjelaskan apa yang menjadi kemuliaan di sisi-Nya dan ini adalah hakikat dari kemuliaan. Yakni bahwa manusia tercipta untuk mencari suatu kemuliaan yang membedakannya (menjadikannya istimewa) dari yang lainnya, dan kebanyakan manusia karena keterikatan mereka dengan dunia memandang bahwa kemuliaan ada pada keutamaan meterial berupa harta, kecantikan nasab, kemuliaan leluhur dan lain sebagainya, sehingga mereka mencurahkan daya upaya mereka untuk mendapatkannya untuk kemudian membanggakannya atas yang lainnya.

Keutamaan tersebut semuanya adalah palsu dan tidak memberikan kemuliaan apapun bagi mereka kecuali kesengsaraan dan kehancuran.

Kemuliaan yang hakiki adalnah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan hakiki yakni kehidupan yang baik dan abadi di sisi Tuhannya dan kemuliaan ini adalah takwa kepada Allah SWT dan ini merupakan satu-satunya cara untuk sampai kepada kebahagiaan di akhirat dan kebahagiaan di dunia juga akan mengikutinya. 

Allah SWT berfirman:

تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ

“Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)”. (Qs. al-Anfal: 67)

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى

“Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. (Qs. al-Baqarah: 197)

Jika kemuliaan itu diukur dengan takwa maka paling mulianya manusia adalah yang paling bertakwa di antara mereka sebagaimana firman dari Allah. Dan tujuan yang dipilih oleh Allah dengan ilmu-Nya ini adalah tujuan bagi manusia yang tidak akan menemui benturan dan tidak akan ada saling dorong-mendorong antara pihak yang terlibat dengannya, berbeda dengan tujuan-tujuan dan kemuliaan-kemuliaan yang dituju manusia berdasarkan khayalan mereka seperti kekayaan, kepemimpinan, kecantikan dan lain sebagainya.

Dan firman Allah: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” adalah penekanan untuk ayat ini dan sebagai isyarat bahwa kemuliaan yang Allah pilihkan untuk manusia adalah kemuliaan hakiki yang Ia pilih dengan ilmu dan pengetahuan-Nya berbeda dengan kemuliaan yang dipilih oleh manusia untuk diri mereka sendiri yang merupakan khayalan palsu  dan hanyalah hiasan dunia belaka. Allah SWT berfirman:

وَما هذِهِ الْحَياةُ الدُّنْيا إِلاَّ لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوانُ لَوْ كانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (Qs. al-Ankabut: 64)

Pada ayat ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan hidupnya manusia wajib mengikuti perintah Tuhan-nya dan memilih apa yang telah dipilih oleh-Nya dan Allah telah memilihkan untuk mereka takwa.

Bisa jadi banyak orang yang mengklaim bahwa dirinya telah bertakwa sedangkan nyatanya yang menyandang ketakwaan itu lebih sedikit maka al-Quran menambahkan di akhir ayat dengan kata-kata: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Allah mengenal orang-orang yang benar-benar bertakwa dan Dia mengetahui derajat ketakwaan mereka serta keikhlasan niat mereka dan kesucian mereka maka Dia memuliakan mereka sesuai dengan pengetahuan-Nya. Adapun para pengklaim palsu mereka juga akan dihisab dan dibalas atas kebohongannya.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang dengan fitrahnya ingin menjadi wujud yang memiliki nilai dan kebanggaan, oleh karenya dia berusaha dengan segala eksistensinya untuk memperoleh nilai tersebut, hanya saja pengetahuan tentang standar dari nilai tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kebudayaan dan bisa jadi nilai yang palsu mengambil tempat yang lebih jelas sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk nilai yang benar.

Karenanya sekelompok orang memandang bahwa nilai mereka yang hakiki adalah dinisbatkan kepada kabilah yang terkenal oleh karenanya demi mengangkat reputasi kabilah dan kelompok mereka, mereka menampakkan aktifitas-aktifitas umum untuk menjadi pemimpin karena keluhuran dan ketinggian pangkat kabilah mereka.

Perhatian terhadap kabilah dan kebanggaan yang dinisbatkan kepada hal tersebut merupakan hal yang tidak nyata di mana kabilah tertentu menganggap dirinya lebih mulia dari kabilah yang lain, dan sangat disayangkan malapetaka Jahiliyah ini kita temukan dalam banyak jiwa individu masyarakat.

Kelompok lain menganggap harta sebagai standar dari nilai kemuliaan  seseorang, mereka berusaha menumpuk-numpuk harta untuk mendapatkan kemuliaan tersebut, sedangkan kelompok yang lain menganggap bahwa politik dan sosial yang tinggi merupakan standar kemuliaan seseorang. Demikianlah setiap kelompok memiliki jalan masing-masing, mereka mencari nilai-nilai tertentu dan menganggapnya sebagai standar kemuliaan seseorang.

Karena semua hal ini bersifat materi dan palsu, Islam memberikan standar hakiki sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang yakni ketakwaan, kesucian hati dan keteguhan agama. Sehingga dia tidak memperhatikan tema-tema penting seperti ilmu pengetahuan dan kebudayaan jika hal itu tidak berada dalam jalur keimanan, ketakwaan dan akhlak.

Takwa kepada Allah serta memerangi syahwat dan berpegang teguh kepada kebenaran, kejujuran, kesucian dan keadilan adalah tolok ukur dari nilai kemanusiaan itu sendiri bukan yang lainnya, hanya saja nilai-nilai asli ini seringkali terlupakan oleh masyarakat dan digantikan oleh nilai-nilai palsu.

Dalam lingkungan orang-orang Jahiliyah yang meyakini bahwa nilai kemuliaan seseorang ada pada kebanggaan pada leluhur mereka, harta dan anak-anak mereka muncul para perampok dan perampas, sebaliknya dalam lingkungan orang-orang yang berlandaskan ayat “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” muncul orang-orang seperti Salman, Abu Dzar, Ammar, Yasir dan Miqdad.

Kedua: Hakikat dari ketakwaan seperti yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa al-Quran memberikan keistimewaan terbesar untuk ketakwaan dan menganggapnya sebagai satu-satunya tolok ukur untuk mengenal nilai kemuliaan seseorang dan juga menganggapnya sebaik-baiknya bekal seraya mengatakan:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى

“Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. (QS. al-Baqarah: 197)

Adapun dalam surat al-A’raf al-Quran mengumpamakannya dengan pakaian:

وَلِباسُ التَّقْوى ذلِكَ خَيْرٌ

“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik”. (QS. al-A’raf: 26)

Sebagaimana al-Quran juga mengumpamakan dalam ayat lain bahwa takwa adalah salah satu dasar dakwah awal para Nabi dan  meninggikannya dalam beberapa ayat sampai-sampai al-Quran mengumpamakan Allah sebagai ahlu taqwa:

هُوَ أَهْلُ التَّقْوى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ

“Dia (Allah) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun”. (QS. al-Mudatsir: 56)

Al-Quran menganggap takwa sebagai nur (cahaya) dari Allah (QS. al-Baqarah : 282) dan menggandengkan takwa dengan kebaikan (QS. al-Maidah: 2) dan keadilan (QS. al-Maidah: 8).

Sekarang kita harus melihat hakikat takwa yang merupakan modal maknawiyah paling besar dan kebanggaan bagi manusia. Al-Quran telah memberikan isyarat yang mengungkap hakikat takwa dan menyebutkan dalam sejumlah ayat bahwa hati adalah tempat bagi ketakwaan:

أُولئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوى

“Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa”. (QS. al-Hujurat: 3)

Dan al-Quran menjadikan takwa sebagai lawan dari kefasikan:

فَأَلْهَمَها فُجُورَها وَتَقْواها

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (QS. as-Syams: 8)

Al-Quran juga menganggap setiap amalan yang muncul dari jiwa yang beriman dan ikhlas serta niat yang jujur merupakan dasar ketakwaan sebagaimana ia mensifati masjid Quba (di Madinah) yang dibangun oleh orang-orang munafik yang berlawanan dengan masjid Dhirar:

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ

“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu solat di dalamnya”. (QS. at-Taubah: 108)

Makna Taqwa

Dari keseluruhan ayat-ayat di atas dapat kita pahami bahwa ketakwaan adalah kesadaran tentang tanggung jawab dan janji yang menetapkan keberadaan manusia, hal itu adalah hasil dari keteguhan iman dalam hatinya yang ia hindarkan dari kefasikan dan dosa serta mengajaknya untuk beramal soleh dan membersihkan amalan-amalan manusia dari berbagai kotoran dan menjadikan pikiran dan niatnya bersih dari berbagai noda.

Jika kita kembali kepada akar bahasa dari kata ini kita akan sampai pada kesimpulan yang sama karena at-taqwa berasal dari kata ¬al-wiqayah yang maknanya adalah tekun dan berusaha menjaga sesuatu dalam hal ini maksudnya adalah menjaga jiwa agar tidak tercemari oleh segala jenis kotoran dan memusatkan kekuatan pada hal-hal yang diridhoi oleh Allah.

Beberapa ulama’ menyebutkan tiga tingkatan pada takwa:

Menjaga diri dari siksa yang kekal dengan cara mendapatkan keyakinan-keyakinan yang benar

Menghindari semua dosa dan ini lebih umum dari meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan

Berusaha menahan diri dan sabar atas ajakan hati untuk melakukan sesuatu yang dapat menjauhkannya dari kebenaran dan ini adalah inti ketakwaan bahkan yang paling spesifik.

Beberapa Hadits Berkaitan dengan Takwa

Dalam Nahjul Balaghah Imam Ali as. memberikan pernyataan yang indah dan fasih berkaitan dengan permasalahan takwa di mana permasalahan ini banyak disebutkan dalam khutbah beliau dan kata-katanya yang singkat.

Dalam sebagian ucapannya beliau as. mengumpulkan takwa dan dosa dan berkata:

ألا وإنّ الخطايا خيل شُمس حمل عليها أهلها وخلعت لجمها فتقحّمت بهم في النار ألا وإنّ التقوى مطايا ذلل حمل عليها أهلها وأعطوا أزمتها فأوردتهم الجنة

 “Sesungguhnya dosa seperti sekawanan kuda yang tidak taat yang dikendarai oleh penunggangnya dan terlepas tali kekangnya maka ia akan menceburkannya (si penunggang – red) ke dalam neraka, sedangkan takwa adalah seperti binatang tunggangan yang taat kepada penunggangnya maka ia akan membawanya ke surga”.

Berdasarkan penyerupaan yang disebutkan pada hadis ini, maka dapat dipahami bahwa takwa adalah kondisi penjagaan diri dan penguasaan syahwat, sedangkan tidak adanya ketakwaan merupakan penerimaan terhadap syahwat dan tidak adanya penguasaan terhadapnya.

Pada tempat lain Imam Ali as. berkata:

اعلموا عباد الله أن التقوى دار حصن عزيز والفجور دار حصن ذليل لا يمنع أهله ولا يحرز من لجأ إليه ألا وبالتقوى تقطع حمة الخطايا

“Ketahuilah wahai hamba-hamba Allah bahwa takwa adalah rumah pertahanan yang kuat sedang kemaksiatan adalah rumah pertahanan yang rapuh yang tidak mampu melindungi orang yang mendiaminya dan tidak dapat menjaga orang yang berlindung kepadanya,ketahuilah bahwa hanya dengan ketakwaan kebatilah bisa terputus”.

Di tempat lain beliau as. juga menambahkan:

فاعتصموا بتقوى الله فإنّ لها حبلا وثيقا عروته ومعقلا منيعا ذروته

“Berpegang teguhlah kepada takwa sesungguhnya pada ketakwaan terdapat tali yang kuat ikatanya dan benteng yang kokoh puncaknya”.

Melalui ungkapan-ungkapan dari Imam Ali as. di atas hakikat ketakwaan pun menjadi jelas. Yakni bahwa takwa adalah buah dari pohon keimanan dan untuk mendapatkan buah yang langka dan mahal ini maka landasan iman haruslah kokoh. Tentu taat dan menjauhi maksiat serta memperhatikan akhlak akan menjadikan ketakwaan kokoh di dalam jiwa dan hasilnya adalah munculnya cahaya keyakinan di dalam diri manusia.

Setiap kali cahaya takwa bertambah, bertambah pulalah cahaya keyakinan dan iman, oleh karenanya kita temukan dalam riwayat-riwayat Islam bahwa takwa itu derajatnya lebih tinggi dari iman dan lebih rendah dari yakin. Imam Ali bin Musa ar-Ridha as berkata:

الايمان فوق الاسلام بدرجة و التقوى فوق الايمان بدرجة و اليقين فوق التقوى بدرجة و ما قسم في الناس شيئ اقل من اليقين

“Iman berada satu derajat di atas Islam sedang takwa berada satu derajat di atas iman dan yakin berada satu derajat di atas takwa dan tidak ada sesuatu pun bisa dibagi dalam diri manusia yang ukurannya lebih kecil dari yakin”.  

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tartibi. Tandai permalink.

3 Balasan ke Tafsir Surat al Hujurat [10]: Kenapa Allah Menciptakan Manusia Berbeda-Beda? Dan Apa Kemuliaan yang Sebenarnya Menurut Al Quran?

  1. Bang Uddin berkata:

    Andai saja tak ada perbedaan warna pada pelangi maka tak akan ada keindahan pada pelangi. Sebagaimana Allah menciptakan manusia berbeda-beda agar terciptanya keindahan dalam hidup manusia.

    Perbedaan dan keanekaragaman warna membuatnya tampak lebih indah. Andai saja tak ada perbedaan, tentu tak akan seindah ini. Jadikanlah perbedaan diantara kita semua menjadi suatu keindahan dalam kehidupan

    Suka

    • Spirit berkata:

      Keindahan itu sesuatu yg muncul dari persepsi manusia yg merupakan sesuatu yg natural, bukan karena dibuat-buat atau harus dikondisikan secara artifisial. Semua kreasi dari Allah tidak hanya bermuatan secara spiritual, tetapi juga scientific. Terbentuknya ragam warna pada pelangi bukanlah sesuatu yg “Abrakadabra” muncul begitu saja tanpa ada sebab-musabab ilmiyahnya yang dapat difahami, begitu juga dengan manusia, mengapa bisa muncul ragam bentuk fisik dan juga ragam etnik di antara manusia? semua itupun juga terjadi bukan scr “Abrakadabra” muncul tiba-tiba langsung seperti ini di antara kita, melainkan adanya proses kejadian secara ilmiyah dan juga diikuti dengan proses sosialnya, sebagaimana yang sudah diketahui dalam ilmu pengetahuan bahwasannya manusia mengalami proses evolusi dari sekumpulan homogen mulanya lalu beranak-pinak hingga populasinya menjadi tersebar ke seluruh penjuru dunia, sejak itu manusia mengalami adaptasi kondisi geografis dan lingkungan yang beragam, dan membentuk kelompok-kelompok untuk mengatur kehidupannya, tidak hanya dengan itu, interaksi dan kawin-mawin antar kelompok juga menjadi sebab keberlanjutan dari khazanah kebudayaan hidup manusia dan lahirnya ragam bangsa/etnis baru. Kita semua adalah HASIL dari percampuran antar manusia di masa lalu dan ini tidak akan bisa dipungkiri, maka dari itu sifat narsisme seperti merasa spesial dan beda dari yg lain adalah absurditas yang menggelikan karena kita saling terhubung satu sama lain. Pandangilah ini sebagai sesuatu yg natural karena memang beginilah kita terlahirkan. Dan seandainya kelak, percampur-bauran manusia menjadikan kita semua satu ras dengan bentuk fisik yang sama, maka itupun adalah fitrah, hak apa anda untuk menghentikannya? karena hakikatnya manusia ditakdirkan memang untuk saling berhubungan. Keanekaragaman tidak akan hilang karena seringkali keanekaragaman merupakan kehendak dari manusia itu sendiri untuk mengalami perbedaan secara natural. Ketika keanekaragaman ras telah menjadi tunggal, maka kenakearagaman individu tetap akan ada baik secara kelompok-kelompok atas nama ideologi, agama, partai, latar sosial, dll. Ini semua natural

      Suka

  2. Ping balik: Islam Anti Radikalisme – azumidesu

Tinggalkan komentar