Tafsir Surah Al Hujurat [9]: Sikap-sikap Tercela yang Seharusnya Dijauhi oleh Orang-Orang Muslim Menurut al-Quran (Bag.3)

Sikap-Sikap Tercela yang Seharusnya Dijauhi oleh Orang-Orang Muslim Menurut al-Quran (Bag.3)

  • GHIBAH TERMASUK DOSA YANG PALING BESAR

Modal terpenting seseorang dalam kehidupannya adalah kehormatan dan harga dirinya, dan ketika ada yang mengancam kehormatannya hal itu seakan-akan juga mengancam kehidupannya. Tekadang pembunuhan karakter lebih bahaya dari pada pembunuhan jiwa manusia itu sendiri karenya terkadang dosanya lebih besar dari pada pembunuhan jiwa manusia.

Salah satu hukum tentang larangan berghibah tujuannya adalah agar tidak melakukan perbuatan ini dan mengusik modal maknawi seseorang karena adanya resiko perpecahan dan penodaan nama baik, dan juga agar tidak mencoreng kehormatan seseorang dan menodai harga dirinya. Inilah poin penting yang amat diperhatikan oleh Islam.

Di samping itu ghibah dapat melahirkan pandangan buruk, melemahkan hubungan sosial, menghancurkan kepercayaan, dan mengguncang dasar kerjasama sosial.

Kita ketahui bahwa Islam menaruh perhatian besar terhadap kesatuan dan solidaritas antar individu masyarakat, maka setiap hal yang dapat memperkuat kesatuan ini akan diterima oleh Islam, sedangkan yang bisa menyebabkan terputusnya hubungan sosial sangat ditolak oleh Islam, dan ghibah adalah salah satu pemicu yang melemahkan hubungan sosial.

Ghibah juga menaburkan benih-benih kedengkian dan permusuhan di dalam hati, bahkan terkadang ia bisa menyebabkan peperangan dan pertumpahan darah.

Ringkasnya apabila kita memahami bahwa ghibah dianggap sebagai salah satu dosa besar, itu adalah karena pengaruh-pengaruh buruknya terhadap perorangan maupun masyarakat.

Dalam riwayat-riwayat Islam disebutkan beberapa hadis yang berkaitan dengan hal ini, seperti:

قَال الرَّسول صلى الله عليه وآله: إِنَّ الدِّرْهَمَ يُصِيبُهُ الرَّجُلُ مِنَ الرِّبَا أعظَمُ عند الله في الخطيئة من ست وثلاثين زنية يزنيها الرجل، وأربى الربى عرض الرجل المسلم

Rasul saw bersabda: “Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba lebih besar kesalahannya di sisi Allah dari pada tiga puluh enam perzinahan yang dilakukan oleh seseorang, dan riba yang paling besar adalah merendahkan kehormatan seorang muslim.” [1]

Hal ini tidak lain adalah karena zina walaupun ia merupakan perbuatan buruk, namun di dalamnya terdapat hak Allah, sedangkan riba yang lebih buruk dari zina seperti menjatuhkan harga diri manusia dan semacamnya di dalamnya terdapat hak manusia.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu hari Nabi saw berkhutbah dengan suara yang tinggi dan berseru:

يا معشر من آمن بلسانه ولم يؤمن بقلبه! لا تغتابوا المسلمين ولاتتبعوا عوراتهم فإنه من تتبع عورة أخيه تتبع الله عورته م من تتبع الله عورته يفضحه في جوف بيته

“Wahai sekalian orang yang mengimani lidahnya namun tidak mengimani hatinya! janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah kalian mengamati aib-aib mereka, karena barang siapa yang mengamati aib saudaranya, Allah akan mengamati aibnya, dan barang siapa yang aibnya diamati oleh Allah, maka Allah akan membuka kedoknya di dalam rumahnya.”. [2]

Dalam hadis ketiga disebutkan bahwa Allah SWT mewahyukan kepada Musa as. dan berfirman:

من مات تائبا من الغيبة فهو آخر من يدخل الجنة، و من مات مصرا عليه فهو أول من يدخل النار

“Barang siapa mati dalam keadaan bertaubat dari perbuatan ghibah maka ia adalah orang terakhir yang akan memasuki surga, dan barang siapa mati dalam keadaan melakukan perbuatan ghibah maka ia adalah orang pertama yang akan memasuki neraka,”. [3]

Sebagaimana yang kita baca dalam hadis lain dari Nabi saw, beliau bersabda:

الغيبة أسرع في دين الرجل المسلم من الآكلة في جوفه

“Ghibah lebih cepat menggerogoti agama seorang muslim dari pada penyakit yang menggerogoti perutnya.”. [4]

Perumpamaan ini menunjukkan bahwa ghibah adalah seperti kudis yang menggerogoti daging manusia, ia dapat menghilangkan keimanan dengan cepat.

Dengan memperhatikan bahwa faktor pendorong ghibah adalah banyak hal seperti iri, takabbur, bakhil, dendam, egoisme dan sifat-sifat tercela lainnya, maka jelas pula rahasia yang menyebabkan ghibah, penodaan nama baik kaum muslimin, dan pemerkosaan kehormatan mereka, semua ini memiliki pengaruh yang dapat merusak keimanan seseorang.

Riwayat-riwayat Islam yang berkaitan dengan hal ini sangat banyak, dan kita tutup pembahasan ini dengan dengan menyebutkan hadis lain yang dinukil dari Imam as-Shadiq as. beliau berkata:

من روى على مؤمن رواية يريد بها شينة و هدم مروته ليسقط من أعين الناس أخرجه الله من وريته إلى ولاية الشيطان فلا يقبله الشيطان

“Barang siapa yang memberitahukan sebuah cerita kepada seorang mukmin karena ingin menodai kehormatannya dan menjatuhkan kewibawaannya di hadapan orang lain maka Allah akan mengeluarkannya dari wilayah-Nya ke wilayah setan sedang setan tidak akan menerimanya.”. [5]

Semua perhatian yang diberikan Islam ini adalah untuk menjaga kehormatan orang-orang mukmin pada kancah sosial, dan juga untuk mengugurkan pengaruh yang ditinggalkan ghibah terhadap persatuan umat dan yang lebih buruk dari itu adalah bahwa ghibah dapat menyulut api permusuhan, kebencian, kemunafikan, dan penyebar luasan perbuatan keji dalam masyarakat. Karena ketika aib manusia yang disembunyikan tersingkap melalui ghibah nama baiknya akan tercemar di mata orang lain.

  • PENGERTIAN GHIBAH

Ghibah sebagaimana yang tampak dari namanya ia adalah membicarakan seseorang ketika orangnya tidak ada, tujuannya adalah untuk mengungkapkan aib orang tersebut baik dari sisi moral, perbuatan ataupun ucapannya, bahkan dalam semua hal yang berhubungan dengannya seperti pakaiannya, rumah, suami, anak-anak, dan hal-hal semacamnya.

Berdasarkan hal ini perkataan tentang sifat-sifat fisik orang lain tidak dianggap sebagai ghibah, kecuali jika ia mengatakannya dengan tujuan menghina dan menyebutkan aibnya, maka dalam kondisi semacam ini tidakan tersebut adalah haram. Seperti jika seseorang menyebut orang lain sebagai buta, picek, berpostur pendek, berkulit coklat dan lain sebagainya dengan tujuan menghina.

Dengan demikian jelas bahwa ketika seseorang menyebutkan aib yang disembunyikan orang lain dengan tujuan apapun, maka hal itu dianggap sebagai ghibah dan haram hukumnya, sedangkan menyebutkan aib yang tampak adalah haram apabila tujuannya untuk menghina baik kita memasukkannya dalam pengertian ghibah ataupun tidak.

Semua ini adalah jika aib-aib ini memang nyata dimiliki orang itu, sedangkan jika aib-aib tersebut tidak benar adanya maka itu merupakan kebohongan dan dosanya lebih besar dari pada berghibah.

Dalam sebuah hadis dari Imam as-Shadiq as. disebutkan bahwa beliau berkata:

الغيبة ما تقول في أخيك ما ستره الله عليه، وأمّا أمر الظاهر منه مثل الحدة والعجلة فلا، والبهتان أن تقول ما ليس فيه

“Ghibah adalah membicarakan sesuatu yang Allah tutupi pada saudaramu, adapun perkara yang tampak maka itu bukanlah ghibah, dan kebohongan adalah membicarakan apa yang tidak ada padanya (saudaramu).”[6]

Dari sini jelas bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang-orang awam tidak dapat diterima, seperti jika seorang yang bergunjing mengatakan: “ini bukanlah ghibah tapi itu memang sifat yang dimilikinya (orang yang sedang digunjingkan)”. Dan apabila aib yang dia bicarakan tentang orang lain itu tidak benar-benar ada pada orang tersebut, maka hal itu adalah kebohongan bukan ghibah.

Atau orang yang bergunjing itu berkata: “perkataan ini aku ucapkan di hadapannya juga”. Maka pada kondisi semacam ini ia tidak hanya mendapatkan dosa bergunjing saja namun juga mendapatkan dosa karena telah menyakiti orang lain dan dosanya lebih besar ketimbang ghibah.

  • MENGOBATI GHIBAH DAN BERTAUBAT DARINYA

Ghibah sebagaimana semua sifat tercela lainnya, ia secara bertahap dapat berubah menjadi penyakit jiwa, di mana orang yang melakukannya akan merasa nyaman dengan perbuatannya dan gembira ketika mencoreng kehormatan orang lain, dan hal ini merupakan tingkatan penyakit hati yang sangat berbaya.

Dengan demikian seorang yang melakukan ghibah harus berusaha mengobati faktor internal yang bersemayam di kedalaman jiwanya dan yang mendorongnya kepada perbuatan dosa ini, seperti kikir, iri, dengki, permusuhan, angkuh dan egois.

Karenya ia harus mensucikan dirinya dari efek-efek buruk sifat-sifat tercela ini dan dari akibat-akibat buruk yang dihasilkannya dengan cara membangun kepribadian dan pemikiran. Selain itu ia juga harus mensucikan hatinya melalui latihan mental untuk bisa menjaga lidahnya dari ghibah.

Level selanjutnya adalah taubat. Karena di dalam ghibah terdapat hak manusia maka untuk bertaubat darinya jika memungkinkan ia harus meminta maaf kepada orang yang ia gunjingkan walaupun secara umum, misalnya dengan mengatakan: “Aku terkadang mengghibahimu karena kebodohanku maka maafkanlah aku”. Ia tidak perlu berpanjang lebar menjelaskan hal yang ia ghibahi agar tidak terjadi kerusakan dan pengrusakan lainnya.

Namun jika ia tidak dapat menyampaikannya kepada pihak yang ia ghibahi atau ia tidak mengenalnya maka hendaknya ia pergi kepada Tuhannya dan memohon ampun kepada-Nya serta beramal soleh. Barangkali Allah mau mengampuninya berkat amal soleh yang ia kerjakan dan orang yang dighibahinya bisa merelakannya.

  • KONDISI-KONDISI YANG DIKECUALIKAN

Pembahasan terakhir yang patut disebutkan berkaitan dengan ghibah adalah bahwa hukum ghibah adalah seperti hukum-hukum lannya, ia memiliki pengecualian. Di antaranya adalah bahwa ia terkadang digunakan untuk kepentingan konsultasi misalkan untuk memilih pasangan atau teman atau semacamnya, di mana seseorang bertanya kepada orang lain, maka pihak yang dimintai pendapat harus menjalankan amanat sesuai dengan hukum Islam dia harus menyebutkan aib-aib orang yang dibicarakan kepada orang yang bertanya jika memang ada agar nantinya tidak timbul masalah. Maka ghibah dengan tujuan semacam ini tidaklah haram.

Demikian juga pada kondisi-kondisi lain yang memiliki tujuan penting seperti konsultasi tentang pekerjaan atau pemenuhan hak atau pelaporan dan lain hal sebagainya.

Tentu saja orang yang melakukan kefasikan secara terang-terangan tidak masuk ke dalam perkara ghibah, sehingga jika keburukannya disebut-sebut di belakangnya, maka hal itu tidaklah dosa. Namun perlu diperhatikan bahwa hukum ini khusus untuk dosa yang ia lakukan secara terang-terangan saja. Perlu diperhatikan juga bahwa yang diharamkan bukan hanya melakukan ghibah tapi mendengarkan ghibah juga haram, hadir di majlis ghibah juga diharamkan, bahkan berdasarkan sebagian riwayat wajib memberi jawaban kepada orang yang melakukan ghibah, yakni membela saudara muslimnya yang sedang dicoreng kehormatannya. Alangkah indahnya masyarakat yang memelihara prinsip moral semacam ini.

(Selesai)

______________

[1] Al-Mahajjah al-Baydha’, Jilid 5 hal. 253

[2] Al-Mahajjah al-Baydha’, Jilid 5 hal. 252

[3] Ibid

[4] Ushul al-Kafi, Jilid 2 Bab Ghibah

[5] Wasail al-Syiah, Jilid 8 hal. 608, Bab 157

[6] Ushul al-Kafi, Jilid 2 Bab al-Ghibah wal Buht

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tartibi. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar