Tafsir Surah al Hujurat [8]: Sikap-Sikap Tercela yang Seharusnya Dijauhi oleh Orang-Orang Muslim Menurut al-Quran (Bag.2)

Sikap-Sikap Tercela yang Seharusnya Dijauhi oleh Orang-Orang Muslim Menurut al-Quran (Bag.2)

Kemudian ayatnya menyebutkan tentang larangan mencari-cari kesalahan orang lain dengan berkata: “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang”.

At-tajassus dan at-tahassus keduanya bermakana al-bahts (mencari) dan at-taqasshi (menyelidiki dengan mendalam) yang membedakan adalah bahwa tafsiran yang pertama biasanya digunakan untuk mencari sesuatu yang tidak diinginkan sedangkan yang kedua sebaliknya ia digunakan untuk mencari sesuatu yang diinginkan dan disukai, termasuk diantaranya adalah yang keluar dari ucapan Nabi Ya’qub dalam wasiatnya kepada putranya:

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ

“Hai anak-anakku pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya”. (Yusuf: 87)

Pada hakikatnya prasangka buruk menyebabkan tajassus juga tahassus dan dapat mengungkap rahasia serta hal-hal yang tersembunyi dari manusia. Islam tidak pernah membolehkan mengungkap rahasia orang atau dengan kata lain Islam ingin agar manusia meresa aman dari segala sisi dalam kehidupan mereka, dan jelas jika Islam mengizinkan setiap orang untuk menyelidiki orang lain (mencari-cari kesalahannya) maka kehormatan manusia tidak akan terjaga dan kehidupan akan menjadi seperti neraka yang menyiksa setiap individu masyarakat.

Tentunya hal ini tidak bertentangan dengan penyelidikan yang dilakukan oleh pemerintahan Islam untuk menghadapi komplotan-komplotan yang melakukan pelanggaran, namun hal ini bukan berarti pihak penyidik memiliki hak khusus untuk tajassus dalam kehidupan pribadi manusia.

Dan di akhir ayat ini menambahkan sesuatu yang pada hakikatnya merupakan hasil dan akibat dari dua hal di atas (prasangka buruk dan mencari-cari kesalahan orang lain – red) dengan mengatakan: Dan janganlah menggunjing satu sama lain”.

Demikianlah sesungguhnya prasangka buruk merupakan akar dari tajassus dan tajassus yang menyebabkan terbongkarnya aib dan rahasia, dan pengetahuan tentang aib dan rahasia itu menyebabkan ghibah (menggunjing).

Islam melarang semua itu dan untuk mencela perbuatan semacam ini al-Quran membuat analogi yang sempurna dengan mengatakan: “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.

Ayat ini menggunakan istifham inkari dan menisbatkan al-hub (rasa suka) yang dinafikan kepada seseorang di antara mereka (ahadukum) dan tidak mengatakan sebagian kalian (ba’dhukum) atau semacamnya agar penafiannya lebih jelas dan menyeluruh karenanya setelah itu ditekankan dengan ayat: “Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. Dan menisbatkan al-karahah (rasa tidak suka) kepada orang banyak (jamak) dan tidak menisbatkannya kepada perorangan (mufrad).

Harga diri seorang muslim di sini diibaratkan dengan daging tubuhnya dan menjatuhkan harga dirinya dengan menggunjing dan membongkar rahasianya adalah seperti memakan dagingnya.

Intinya gunjingan seorang mukmin adalah seperti seseorang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Di sini menggunakan perumpamaan saudara karena ia adalah anggota dari masyarakat Islam yang terdiri dari orang-orang mukmin dan orang-orang mukmin itu adalah bersaudara, sedangkan perumpamaan seorang yang sudah mati adalah karena orang yang digunjing tidak hadir dan ia tidak tau tentang hal yang dibicarakan berkaitan dengan dirinya, atau bisa jadi karena menggunjing itu terjadi pada saat orangnya tidak hadir maka mereka seperti halnya orang yang mati yang tidak bisa membela dirinya.

Ayat: “Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” merupakan alasan yang berlaku untuk tajassus sebagaimana juga berlaku untuk ghibah, perbedaannya adalah bahwa ghibah adalah memperlihatkan aib orang kepada orang lain atau mengetahui aib seseorang melalui orang lain sedangkan tajassus adalah mengetahui aib seseorang dengan cara menyelidikinya, dengan demikian ayat “Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” merupakan alasan untuk kedua hal ini yakni ayat “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain”.

Keharaman menggunjing ini hanya terbatas pada menggunjing kaum muslimin hal ini tampak dari ayat “daging saudaranya” dan persaudaraan itu hanya terjalin antara orang-orang mukmin.

Dan karena bisa jadi beberapa orang yang melakukan ketiga perbuatan dosa ini menyadari kesalahan mereka, ayat ini membuka jalan bagi mereka dimana ayatnya ditutup dengan perkataan Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

Maka tugas awal mereka adalah untuk menghidupkan jiwa yang bertakwa dan takut kepada Allah dan ini akan menghasilkan taubat yang akan mengantarkan mereka pada rahmat dan kasih sayang Allah.

Ayat “Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”, diathafkan kepada ayat “Jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan)”,

Dalam kitab tafsir al-Mizan disebutkan bahwa jika yang dimaksud dengan ketakwaan adalah menjauhkan diri dari dosa-dosa ini yang mereka lakukan dengan bertaubat kepada Allah SWT maka yang dimaksud dengan ayat “Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” adalah bahwa Allah banyak menerima taubat dan menyayangi hamba-hamba-Nya yang bertaubat kepada-Nya dan berlindung kepada-Nya.

Dan jika yang dimaksud dengan ketakwaan adalah menjauhkan diri dari dosa-dosa dan enggan melakukannya walaupun mereka tidak melakukannya maka maksud dari ayat “Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” adalah bahwa Allah sering kembali kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dengan hidayah dan taufik dan penjagaan terhadap mereka agar tidak terjatuh ke dalam jurang kesengsaraan dan Allah juga Maha Penyayang terhadap mereka.

Taubat (ampunan) dari Allah itu ada dua macam yakni taubat sebelum seorang hamba bertaubat dengan kembali kepada-Nya melalui taufik (kemudahan) untuk bertaubat sebagaimana firman-Nya:

ثُمَّ تابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا

“Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya” (Qs. At-Taubah: 118)

Dan taubat setelah hambanya bertaubat dengan kembali kepada-Nya melalui ampunan dan diterimanya taubatnya sebagaimana firman Allah:

فَمَنْ تابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَ أَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحيمٌ

“Maka barang siapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya” (Qs. Al-Maidah: 39)

Pada dua ayat di atas terdapat enam pembelajaran yakni:

  1. Larangan untuk merendahkan orang lain.
  2. Larangan untuk mencela.
  3. Larangan untuk memanggil dengan julukan yang mengandung ejekan.
  4. Larangan untuk berprasangka buruk.
  5. Larangan untuk mencari-cari kesalahan orang lain, dan
  6. Larangan untuk menggunjing.

Jika keenam hal ini terealisasi dalam kehidupan sosial maka kehormatan setiap orang dalam masyarakat akan terjamin dan terlindungi dari setiap sisi, sehingga seseorang tidak akan bisa mengejek atau mencemooh orang lain karena ia merasa lebih mulia dan ia tidak akan bisa mencela dengan lidahnya dan tidak pula bisa menjatuhkan kehormatan mereka dengan menggunakan julukan-julukan yang tidak baik dan dia tidak akan berprasangka buruk dan tidak pula menyelidiki kehidupan pribadi seseorang juga tidak akan mengungkap aib yang mereka sembunyikan dengan menggunjingnya.

Dengan kata lain manusia memiliki empat modal yang wajib dijaga seluruhnya dalam lindungan undang-undang ini yakni: jiwa, harta, syari’at dan kehormatan. Riwayat-riwayat dalam Islam menunjukkan bahwa kehormatan manusia adalah seperti jiwa dan harta mereka bahkan ia lebih penting dari beberapa sisi.

Islam ingin memimpin masyarakat yang aman bukan hanya agar mereka tidak saling memukul satu sama lain tetapi lebih dari itu Islam juga ingin mereka selamat dari lidah serta pikiran dan prasangka umat muslim lainnya juga. Dan agar setiap dari mereka merasa bahwa yang lainnya tidak memandangnya dengan kecurigaan dalam pikiran mereka.

Rasa aman ini berada pada level paling tinggi yang tidak mungkin terealisasi kecuali dalam masyarakat mukmin yang ideal. Rasul saw bersabda:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ مِنَ الْمُسْلِمِ دَمَهُ وَمَالَهَ وَعِرْضَهُ وَأَنْ يُظَنَّ بِهِ السُّوْءَ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan dari seorang muslim, darahnya, hartanya, jiwanya dan berprasangka buruk terhadapnya”.[1]

Prasangka buruk bukan hanya berpengaruh pada pihak lawan dan menjatuhkan kehormatannya, tapi ia juga merupakan musibah yang besar bagi pelakunya karena ia adalah sebab yang menjauhkannya dari sikap tolong menolong dengan orang lain dan menciptakan dunia yang menyedihkan, asing dan sepi sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Amirul Mukminin Ali as. Beliau berkata:

مَنْ لَمْ يَحْسُنْ ظَنُّهُ اِسْتَوْحَشَ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ

“Barang siapa yang tidak berprasangka baik maka ia akan merasa kesepian dari setiap orang”.[2]

Dengan kata lain yang membedakan kehidupan manusia dengan binatang dan memberinya gerakan, keindahan dan kesempurnaan adalah jiwa tolong menolong, dan hal ini tidak akan terealisasi kecuali jika kepercayaan kepada orang lain dan prasangka baik kepada mereka bisa ditegakkan. Sedangkan adanya prasangka buruk akan meruntuhkan kepercayaan ini dan memutus hubungan tolong menolong serta melemahkan jiwa sosial.

Seseorang yang memiliki pandangan dan prasangka jelek akan khawatir pada setiap hal, dan akan merasa tersingkirkan dari setiap orang, jiwa mereka akan dikuasai oleh perasaan takut sehingga mereka tidak bisa menemukan teman untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial dan tidak bisa menemukan seseorang yang bisa membantunya saat berada dalam kesulitan.

Yang dimaksud dengan prasangka di sini adalah prasangka yang tidak didasari bukti sehingga jika prasangkanya berdasar pada sebuah bukti maka prasangka tersebut layak dan dan terkecualikan dari hukum ini seperti prasangka yang dihasilkan dari kesaksian dua orang adil.

__________________

[1] Al-Mahajjatul Baydha’, Juz 5 hal. 268

[2] Ghurarul Hikam, hal. 697

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tematik. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar