Keagungan dan Maqam Ahlul Bait dalam Al Quran Bagian 1

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan solat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku’”. (Qs. Al Maidah: 55)

Sabab Nuzul Ayat

Dalam kitab Majma’ Al Bayan dan beberapa kitab tafsir lainnya disebutkan riwayat yang menukil dari  Abdullah bin Abbas, ia mengatakan bahwa suatu hari ia sedang duduk di samping sumur Zamzam sambil membacakan hadis-hadis Nabi saw. kepada orang-orang ketika itu, tiba-tiba seseorang yang memakai amamah dan menutupi wajahnya dengan kain mendekati mereka, setiap kali Ibn Abbas membacakan sebuah hadis dari Nabi saw. orang itu pun membacakan sebuah hadis dari Nabi saw. dengan memulai setiap perkataannya dengan ucapan: “Rasulullah saw. bersabda …” Ibn Abbas pun meminta orang tersebut untuk memperkenalkan dirinya, kemudian ia menyingkap penutup wajahnya dan berseru: “Wahai sekalian manusia barang siapa tidak mengenalku maka ketahuilah aku adalah Abu Dzar Al Ghifari, aku mendengar ucapan Rasulullah saw. dengan kedua telingaku ini jika tidak niscaya ia telah tuli, dan aku melihat beliau dengan kedua mataku ini jika tidak niscaya ia telah buta, sesungguhnya beliau saw. bersabda: “Ali adalah pemimpin orang-orang saleh, dan pembunuh orang-orang kafir, sungguh akan ditolong (oleh Allah) orang yang menolongnya, dan orang yang menelantarkannya akan ditelantarkan (oleh Allah)”.

Abu Dzar kemudian menambahkan bahwa suatu hari ia solat di masjid bersama Nabi saw. kemudian datang seseorang meminta pertolongan, namun tidak ada satu orang pun dari jamaah yang ada di dalam masjid yang datang memberikan bantuan kepada orang tersebut, lalu ia mengangkat tangannya ke langit dan berkata: Ya Allah saksikanlah aku sedang meminta bantuan di masjid Rasul-Mu namun tak seorang pun datang memenuhi permintaanku, saat itu Ali as. sedang solat dan ia sedang dalam keadaan ruku’, kemudian ia menunjukkan jari kelingking kanannya, maka si peminta tadi mendekat dan mengambil cincin yang ada di jari kelingking tersebut, dan Nabi menyaksikan kejadian itu. Ketika beliau saw. selesai melaksanakan solat beliau mengankat kepalanya ke langit dan bermunajat kepada Tuhannya dengan berkata: “Ya Allah sesungguhnya saudaraku Musa telah memohon kepada-Mu untuk melapangkan dadanya dan memudahkan urusannya dan melepaskan kekakuan dari lidahnya supaya manusia bisa mengerti perkataannya, ia juga meminta kepada-Mu untuk menjadikan Harun sebagai saudara dan wazirnya untuk meneguhkan kekuatannya dan membantunya melaksanakan tugasnya, Ya Allah sesungguhnya aku adalah nabi yang telah Engkau pilih, maka lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah urusanku, serta jadikanlah Ali as. sebagai wazir dari keluargaku untuk meneguhkan kekuatanku”.

Abu Dzar berkata: Saat Nabi saw. hampir selesai berdoa turunlah Jibril as. dan berkata kepada beliau: Bacalah, lalu Nabi bertanya: Apa yang harus aku baca? Jibril menjawab: Bacalah ayat ini:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

Sebab turunnya ayat ini dinukil dari berbagai sumber yang terkadang dengan redaksi beragam namun semuanya memiliki maksud dan inti yang sama. Sebagian riwayat menyebutkan permasalahan Imam Ali yang menyedekahkan cincinnya kepada seorang peminta dan beliau dalam keadaan ruku’, sebagian lainnya tidak menyebutkan permasalahan ini tapi hanya menyatakan bahwa ayat  ini turun berkenaan dengan Ali as. Diantara riwayat-riwayat yang menyebutkan permasalahan ini juga ada yang melalui jalur ahlussunnah. Yang mengherankan dalam kitab Ghayatul Maram dinukil 24 hadis melalui jalur Ahlussunnah dan hanya 19 hadis dari jalur Syiah, dan ada lebih dari 30 kitab yang ditulis oleh ulama’-ulama’ Ahlussunnah yang berkenaan dengan permasalahan ini. Sehingga sangat tidak mungkin mengingkari hadis-hadis  tersebut karena jumlahnya yang begitu banyak.[1]

Tafsir Ayat

Ayat ini dimulai dengan kata (إنما) yang berguna sebagai pembatasan, kata tersebut berfungsi untuk membatasi sekup wilayatu amril muslimin pada tiga lingkup, yakni: Allah dan Rasul-Nya saw. serta orang-orang yang beriman dan mendirikan solat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku’, sebagaimana ayatnya mengatakan:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan solat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku’”. (Qs. Al Maidah: 55)

Tidak ada keraguan bahwa ruku’ yang dimaksud pada ayat ini adalah ruku’ dalam solat dan bukan bermakna tunduk (خضوع), karena syariat Islam menggunakan istilah ruku’ dalam Al Quran untuk menunjukkan rukun keempat dalam solat, dan dalam Al Quran tidak ditemukan adanya anjuran untuk menunaikan zakat disertai dengan ketundukan, yang ada adalah anjuran untuk menunaikannya dengan niat ikhlas dan tidak mengungkit-ungkitnya. Sebagaimana juga tidak ada keraguan bahwa kata (الولي) dalam ayat ini tidak bermakna pembantu/ penolong (الناصر) atau pecinta (المُحِبّ), karena wilayah yang bermakna cinta dan pertolongan tidak terbatas pada orang-orang yang melaksanakan solat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku’, namun meliputi semua kaum muslimin yang harus saling mencintai dan menolong di antara mereka, bahkan bagi mereka yang tidak menunaikan zakat atau mereka yang tidak memiliki apapun untuk dikeluarkan sebagai zakat, lalu bagaimana mungkin mereka akan mengeluarkan zakat sementara mereka dalam keadaan ruku’? mereka semua wajib saling mencintai dan menolong satu sama lain.

Dari sini jelas bahwa maksud  dari kata (ولي) dan ayat ini adalah wilayah kekuasaan dan hak khusus karena ia disebutkan berdampingan dengan wilayah Nabi saw. dan wilayah Allah dalam satu kalimat. Maka dengan penjelasan semacam ini menjadi jelas bahwa ayat ini mengungkapkan nash Qurani yang menunjukkan pada wilayah dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as. terhadap kaum muslimin.

 Kritik dan Jawaban

Terdapat beberapa kritikan yang dilontarkan terkait dengan tafsiran bahwa ayat ini adalah berkenaan dengan hak kepemimpinan Imam Ali as. di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama: mereka mengatakan bahwa kata (الذين) yang digandengkan dengan kata (آمنوا) dalam ayat ini tidak mungkin diterapkan pada satu individu seperti Ali as. karena kata-kata tersebut menggunakan bentuk jamak. Jawabannya: adalah bahwa terdapat banyak sekali penggunaan shighah jamak untuk menunjuk seorang individu yang disebutkan dalam kitab-kitab sastra Arab, hal ini juga terdapat dalam ayat-ayat lain dalam Al Quran seperti ayat Mubahalah dimana di dalamnya disebutkan kata (نساءنا) yang berbentuk jamak sementara riwayat-riwayat yang menyebutkan sabab nuzulnya menekankan bahwa yang dimaksud dari kata itu adalah Fatimah Azzahra as., demikian pula dengan kata (أنفسنا) pada ayat yang sama juga menggunakan bentuk jamak sementara pada kejadian Mubahalah tidak ada laki-laki lain yang datang bersama Nabi saw. selain Ali as. penggunaan semacam ini dalam Al Quran adalah untuk menunjukkan kemulian individu tersebut atau untuk menunjukkan peran penting yang dimilikinya, atau untuk menunjukkan keumuman hukum ayat tersebut walaupun misdaqnya terbatas pada satu orang, dan dalam Al Quran juga terdapat banyak ayat yang menggunakan bentuk jamak untuk menunjuk Dzat Allah Yang Maha Esa, hal ini adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah Azza Wa Jalla.

Kedua: Fakrur Rozi mengatakan: Sesungguhnya Ali dikenal sebagai pribadi yang khusyu’ khususnya ketika ia melaksanakan solat hingga pada batas saat ia kakinya terkena anak panah ketika sedang solat ia tidak merasakan sakit sama sekali (hal ini disebutkan dalam riwayat yang ma’ruf) lalu bagaimana mungkin ia mendengar dan menghiraukan ucapan si peminta itu saat ia sedang solat? Jawabannya: Sesungguhnya orang-orang yang mengajukan kritikan semacam ini telah lalai bahwa mendengar suara seorang peminta dan berusaha membantunya tidaklah dianggap sebagai perbuatan memalingkan diri bahkan hal itu adalah sikap menghadap kepada Allah itu sendiri, Imam Ali as. saat melaksanakan solat beliau mengosongkan dirinya dan menghadap kepada Allah secara total, dan semua orang tahu bahwa sikap acuh terhadap ciptaan Allah adalah seperti bersikap acuh kepada Allah juga, dengan kata lain menunaikan zakat saat sedang solat adalah merupakan ibadah yang terkandung dalam ibadah yang lain, dan bukan berarti melakukan perbuatan mubah dalam sebuah ibadah, dengan kata lain yang tidak selaras dengan esensi ibadah adalah menyibukkan diri saat beribadah dan mengalihkan perhatiannya kepada urusan-urusan duniawi dan pribadi, sementara menghadapkan diri kepada sesuatu yang terdapat ridho Allah SWT di dalamnya adalah hal yang sangat selaras dengan ruh ibadah bahkan mengukuhkannya.

Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah yang dimaksud dengan menghadapkan diri kepada Allah SWT bukanlah bahwa manusia kehilangan kesadaran dirinya dan tidak memiliki irodah sama sekali, namun maksudnya adalah bahwa ia dengan keinginannya memalingkan dirinya dari hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan Allah.

Ketiga: mereka mengatakan bahwa walaupun Ali as. dianggap sebagai seorang khalifah setelah Nabi secara langsung, hal ini bukan berarti dia menjadi wali nabi di masa hidup beliau saw. karena wilayah atau kepemimpinannya di zaman Nabi bukanlah kepemimpinan yang aktual tapi masih berupa kepemimpinan potensial, sedang dzahir ayat ini menunjukkan kepemimpinan yang aktual. Jawabannya: kita saksikan pada percakapan kita dewasa ini dan juga dalam berbagai buku-buku sastra penggunaan nama atau sifat tertentu untuk orang-orang yang tidak tidak memiliki ciri itu secara aktual namun mereka memilikinya secara potensial, dan hal ini seperti seseorang yang berwasiat di masa hidupnya dan menentukan seorang pewaris bagi dirinya.[2]

Dan masih banyak lagi kritik-kritik yang tidak berdasar yang mereka nyatakan yang tidak mungkin kami paparkan semuanya di sini karena akan semakin memperpanjang pembahasan.

[1] Tafsir Al Amtsal, Jilid 4 Hal. 45

[2] Tafsir Al Amtsal, Jilid 4 Hal. 45

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tematik. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar