Tema-tema Penting Ulûmul Quran [10] Mengenal Asbâbun Nuzûl

Mengenal Asbâbun Nuzûl

Seperti telah diketahui bahwa Al qur’an tidak turun secara sekaligus, ia turun berangsur-angsur, sesuai dengan kebutuhan, dan ayat-ayat Alqura’an yang kepada Nabi saw. selama masa ekenabian dapat diklasifikasikan menjadi dua,

Pertama, turun karena ada sebab, baik ia berupa kejadian yang terjadi atau pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi saw.

Kedua, turun tanpa ada sebab.

Al Ju’buri berkata, “Turunnya ayat-ayat Al qur’an terbagi dalam dua klasifikasi, pertama: Turun secara langsung (tanpa sebab) dan kedua: Turun setelah terjadinya sebuah peristiwa atau adanya sebuah pertanyaan.”[1]

Defenisi Asbab Nuzul

Para ulama’ mendefenisikan Sabab an Nuzuul sebagai suatu (kejadian atau pertanyaan) yang menyebabkan turunnya ayat Al qur’an yang menanggapinya seusai terjadi.

Dan sudah jelas bahwa tentang sebab turun ayat tidak dapat diketahui dengan ra’yu (pendapat), ia harus diketahui melalui riwayat dari yang menyaksikan/mengalami peristiwa turunnya ayat tersebut.

Contoh:

Ketika ada seorang pengemis datang ke masjid Nabi saw. untuk meminta shadaqah, dan ketika itu sebagian sahabat ada yang sedang shalat, dan ada pula yang membaca Al qur’an , sementara itu Imam Ali as. sedang shalat dalam posisi ruku’, mengetahui tidak ada seorangpun yang memberinya shadaqah, Imam Ali as. menyisyaratkan tangannya kepada si pengemis itu agar mengambil cincin yang sedang beliau kenakan, orang mendekat dan mengambil cincin itu dari jari manis Imam Ali as. lalu turunlah ayat Al-Wilayah, ayat 55 surah Al-Maidah (5).[2]

Urgensi Mengenal Asbab Nuzul

Mengenal asbab nuzul adalah hal penting dan memiliki manfa’at yang cukup banyak, di antaranya,

  1. Membantu mengenali hikmat ditetapkannya hukum.
  2. Membantu pengkaji Al qur’an dalam memahami maksud dan arah ayat secara baik.[3]
  3. Menepis anggapan adanya pembatasan pada ayat-ayat yang secara dhahir lafadznya memberi makna pembatasan.
  4. Mengenal untuk siapa ayat tertentu itu turun, sehingga tidak kabur.

Oleh karenanya, mufassir yang paling mampu mendalami makna dan kandungan ayat-ayat Al qur’an adalah yang paling banya tahu tentang sebab turunnya masing-masing ayat, karenanya Imam Ali as. adalah pribadi suci yang paling menafsirkan Al qur’an setelah Rasulullah saw. sebab beliau menguasai dengan sempurna sebab turun setiap ayat. Imam Ali as. bersabda:

و اللهِ لَمْ تَنْزِلْ آيَةٌ إِلاَّ وَ أنا أَعْلَمُ فِيْما نَزَلَتْ , وَ فِيْمَنْ نَزَلَتْ , وَ أَيْنَ نَزَلَتْ.

Demi Allah, tiada sebuah ayat turun kecuali aku mengetahui untuk apa ia turun, untuk siapa ia turun dan di mana ia turun. [4]

 Redaksi Asbab Nuzul

Pernyataan tentang Asbab Nuzul dapat dilihat dari redaksi yang dipergunakan, ada yang terang dan pasti, seperti kata, sebab turunnya ayat ini adalah begini, dan ada terkadang tidak menyebut kata sebab nuzul, akan tetapi menyebut sebuah peristiwa kemudian mengatakan, maka turunlah ayat ini dan itu. Kedua bentuk redaksi di atas menunjukkan sebab nuzul. Dan ada pula yang masih mengandung kemungkinan lain, seperti redaksi yang mengatakan, ayat ini turun untuk masalah/peristiwa ini, redaksi seperti itu dapat saja bermaknakan bahwa kandungan ayat tersebut berkaitan dengan masalah itu, bukan berarti peristiwa/ masalah itu sebagai sebab turunnya ayat.

 Beragam Sebab Sementara Ayat yang Turun Hanya Satu

Terkadang riwayat yang datang menyebut sebab turunnya sebuah atau sekelompok ayat itu berbilang. Dalam kondisi seperti ini ada beberapa bentuk:

Pertama, salah satu dari riwayat itu saja yang sahih sementara yang lainnya tidak sahih, tentutunga yang diambil adalah riwayat yang sahih.

Kedua, kedua riwayat tentangnya sahih dari sisi sanad, hanya saja yang satu memiliki keunggulan tertentu dibanding yang lain, sehingga ia diunggulkan dan diambil sebagai asbab nuzul.

Ketiga, kedua riwayat tentangnya sama-sama sahih dan tidak ada yang memiliki keunggulan tertentu atas yang lainnya, akan tetapi keduanya masih bisa disatukan, seperti apabila kedua peristiwa yang dikisahkan oleh kedua riwayat itu berdekatan masa terjadinya, sehingga kita mengatakan bahwa ayat itu setelah kedua peristiwa itu.

Keempat, kedua riwayat sama-sama sahih dan salah satunya tidak memiliki keunggulan atas yang lainnya, dan tidak pula dapat dikompromikan sebab jauhnya masa terjadinya kedua peristiwa itu. Dalam kondisi seperti ini sebagian ulama’ menganggap bahwa ayat tersebut turun dua kali, kali pertama turun setelah peristiwa pertama dan kali kedua turun setelah peristiwa kedua terjadi. Sementara sebagian ulama’ lain menolak anggapan yang demikian, mereka meyakini masih terdapat peluang untuk meneliti lebih lanjut agar dapat ditemukan masa riwayat yanag lebih sahih tentangnya.

Berbilangnya Ayat yang Turun Sementara Sebab Nuzulnya Satu

Kebalikan dari kondisi di atas, di sini, ada kondisi di mana ayat yang turun itu berbilang sementara sebab yang melatarbelakanginya hanya satu. Kondisi seperti ini bisa saja terjadi dan tidak bertolak berlakang dengan kebijaksanaan dalam memberikan bimbingan dan menjelaskan kebanaran sa’at dibutuhkan, bahkan ia dapat lebih berkesan yang lebih mengungkap kebenaran itu sendiri.

Contoh:  

Ayat 74 surah At-Taubah (9) dan ayat 18-19 surah Al-Mujadilah (58) keduanya turun setelah Rasulullah saw. bertanya kepada seseorang, mengapakah kamu dan teman-temanmu mencaci maki saya?! Orang mengingkari sembil bersumpah bahwa ia dan teman-temannya tidak mencaci maki Rasulullah saw. Lalu turunlah kedua ayat tersebut untuk mengungkap kebohongannya. Dikimian diriyatkan oleh Al-Hakim, Ahmad dan ath Thabarani.[5]

Penganggapan Berdasar Keumuman Teks dan Bukan Kekhususan Sebab

Jumhur para ulama’ berpendapat bahwa penganggapan dalam memahami kandundungan ayat Al qur’an yang turun dengan sebab adalah keumuman teks yang dipergunakan dan bukan berdasarkan kekhususan sebab yang melatar belakanginya tuirunnya ayat tersebut. Peran sebab nuzul itu hanyalah sebagai penyebab turunnya ayat saja, ia tidak boleh membatasi pengertiannya dan kandungannya untuk peristiwa lain.

Seperti comtoh, ayat Al Dzihaar yang turun berkaitan dengan peristiwa yang dialami oleh seorang sahabat bermana Salamah ibn Shakhr dan ayat Al Li’aan yang turun berkaitan dengan peristiwa yang dialami oleh Hilal ibn Umayyah tidak mungkin hukum yang terkandung di dalamnya dibatasi hanya untuk mereka saja. Ia harus juga diberlakukan untuk orang lain yang mengalami peristiwa serupa. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan para ulama’ bahwa Al-Ibrah Bi umumil lafdzi la bi khususi sababi, penganggapan berdasar keumuman teks dan bukan kekhususan sebab.

Pengertian ini ditegaskan oleh Imam Muhammad Al Baqir as. dengan sabda beliau:

إنَّ القُرْآنَ حَيٌّ لا يَمُوتُ، و إنَّ الآيَةَ حّيَّةٌ لا تموتُ، فَلَوْ كانت الآيةُ نزلتْ في الأقَوْامِ و ماتوا ماتَتِ الآيةُ لَماتَ القرآنُ، و لكن هِيَ جاريَةٌ في الباقِيْنَ كما جَرَتْ في الماضِيْنَ.

“Sesungguhnya Al qur’an itu senantiasa hidup dan tidak mati, dan sesungguhnya ayat itu hidup tidak mati, apabila ayat yang turun untuk suatu kaum dan kemudian mereka itu mati lalu ayat itu juga ikut mati pastilah Al qur’an ini akan mati, akan tetapi berlaku pada generasi yang akan datang sebagaimana ia berlaku untuk generasai yang telah lalu.”[6]

__________________

[1] Al Wahidi/ Asbab An Nuzul:83.

[2] Ibid.231.

[3] Lebih lanjut baca contoh-contohnya dalam Mujaz ‘Ulumil Qur’an:128-130.

[4] DR. Daud Aththar/Mujaz ‘Ulumil Qur’an:127.

[5] Al-Itqan,1/35 dan Al Manahil,1/121.

[6] Talkhish al Bayan:48.

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Kuliah Ulumul Qur'an. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar