Keistimewaan Nabi saw. dalam al-Quran [6]: Menerima Hukum dan Ketetapan dari Beliau Merupakan Syarat Keimanan dan Batas Keislaman

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. An-Nisa’: 65)

Dalam kitab Al-Kasyaf disebutkan bahwa maksud dari ayat fa la wa rabbika adalah fa wa rabbika seperti pada firman Allah SWT. Fa wa rabbika lanasalannahum, huruf lam pada ayat itu adalah zaidah (tambahan) untuk menguatkan makna sumpah pada ayat (tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan) yakni mereka menjadikan Rasulullah sebagai Hakim bagi mereka ketika terjadi perselisihan dan tidak merasa keberatan dengan keputusan yang telah beliau tetapkan, (dan mereka menerima dengan sepenuhnya) yakni mereka patuh dan tunduk kepada keputusan Rasul dan tidak menentang ucapan beliau, kata taslima merupakan penekanan akan fi’il yusallimu dan juga seperti mengulang fi’il tersebut maksudnya adalah mereka patuh kepada ketetapan beliau tanpa ada keraguan di dalamnya dan yakin sepenuhnya dengan keputusan beliau.[1]

Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa keimanan itu tercapai dengan mematuhi keputusan dari Rasulullah saw. dan menerimanya, fa la  yakni tidak seperti yang mereka anggap bahwa diri mereka telah beriman sementara mereka tetap berhakim kepada para penguasa tiran, wa rabbika la yu’minuuna (demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman) adalah sumpah dari Allah bahwa mereka kaum munafik bukanlah orang-orang mukmin dan keimanan tidak akan masuk ke dalam hati mereka sampai mereka menjadikan Rasul sebagai hakim mereka dalam perkara yang mereka perselisihkan terkait dengan perdebatan dan kebingungan mereka tentang hukum-hukum syariat, kemudian tidak ada keberatan dan keraguan pada diri mereka terhadap keputusan dari Rasulullah dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya, mereka tunduk kepada keputusan beliau dan patuh kepada perintahnya. Diriwayatkan dari Imam Ja’far As-Shaqid as. beliau berkata: “Andai suatu kaum menyembah Allah, mendirikan solat, melaksanakan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji di Baitul Haram lalu mereka berkata kepada sesuatu yang diperbuat oleh Rasulullah saw. “mengapa beliau tidak melakukan yang sebaliknya atau yang berlawanan dengan yang sudah beliau lakukan”, atau mereka mendapati kesulitan dari hal itu bagi diri mereka, niscaya mereka menjadi musyrik, kemudian Imam as. membaca ayat ini (“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim).[2]

Terkait dengan sabab nuzul ayat di atas disebutkan bahwa ia turun untuk Zubair bin Awwam salah seorang dari kaum Muhajirin yang berselisih dengan seorang lelaki Anshar terkait dengan saluran air yang sama-sama mereka gunakan untuk menyiram pohon kurma mereka yang tempatnya berdekatan. Mereka kemudian mengadukan permasalahannya kepada Nabi saw. dan karena kebun kurma Zubair lebih tinggi dari kebun orang Anshar itu, Rasulullah saw. berkata kepada Zubair: “Gunakanlah saluran air itu lebih dulu untuk menyiram pohon kurmamu kemudian berikan kepada tetanggamu” (hal semacam ini sudah menjadi kebiasaan untuk dua kebun yang berdampingan pada waktu itu) mendengar keputusan Rasulullah itu, orang Anshar tersebut marah dan berkata: Wahai Rasulullah apakah (engkau mendahulukannya) karena ia adalah anak dari bibimu? Raut wajah Rasul kemudian berubah karena terganggu dengan sikap dan ucapan orang Anshar tersebut. Lalu turunlah ayat di atas memperingatkan kepada kaum muslimin untuk tidak melakukan sikap semacam ini.[3] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang Anshar itu adalah Hathib bin Abi Balta’ah.[4]

Perbedaan antara Keimanan Hathib dan Tsabit bin Qais

Dalam kitab Al-Kasyaf disebutkan bahwa Tsabit bin Qais berkata: Demi Allah, sungguh Allah mengetahui kebenaran yang ada padaku, seandainya Muhammad memerintahkanku untuk membunuh diriku sendiri maka aku akan melakukannya. Dan dalam riwayat disebutkan bahwa Tsabit, Ibn Mas’ud dan Ammar bin Yasir mengucapkan hal tersebut, lalu Rasulullah saw. berkata: Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya di antara umatku ada orang-orang yang keimanannya lebih kuat menancap dalam hatinya ketimbang gunung-gunung yang kokoh.[5]

Alhasil keimanan yang nyata tidak akan terealisasi kecuali dengan menerima dan patuh terhadap perintah-perintah dan larangan dari Rasul, hal ini juga dikuatkan oleh ayat yang berbunyi:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوهَ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إنْ كُنْتُمْ تُؤمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ

“Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (Qs. Annisa’: 59)

Ayat ini sekaligus menjadi bukti bahwa keyakinan yang benar tentang prinsip al-Ma’ad tidak akan didapatkan kecuali dengan mengembalikan permasalahan-permasalahan yang mereka perselisihkan di dalamnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam kitab Al-Manar disebutkan bahwa ayat ini menjadi bukti bahwa barang siapa yang tidak mengikuti Al-Quran dan sunnah dalam semua hukum dan ketentuannya terutama yang berkaitan dengan maslahat umum yang tertera di dalamnya maka ia tidaklah beriman kepada Allah dan hari akhir dengan keimanan yang benar.[6]

ذَٰلِكَ خَيرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs. Annisa’: 59)

Kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dalam permasalahan-permasalahann yang kalian hadapi itu lebih baik bagi kalian karena hal itu merupakan landasan yang paling kuat untuk pemerintahan kalian dan Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kalian dari pada diri kalian sendiri, karena Allah tidak menetapkan prinsip-prinsip dan undang-undang dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya kecuali hal itu untuk kemaslahatan dan kebaikan kalian. Dan ini adalah lebih utama karena ia memutus perselisihan dan menutup pintu-pintu kefasadan.[7]

Dalam Nahjul Balaghah disebutkan tafsiran Imam Ali tentang ayat (Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul) maksud dari kembalikan kepada Allah adalah hendaknya kita mengambil hukum dari AlQuran dan yang dimaksud dengan kembalikan kepada Rasul adalah hendaknya kita mengambil tindakan sesuai dengan sunnahnya.[8]

Siapakah Mereka yang Disebut sebagai Ulil Amri dalam Al-Quran?

Diriwayatkan dari Al-Husain bin Ali as. dalam salah satu khutbahnya beliau berkata: “Taatlah kepada kami sesungguhnya ketaatan kepada kami adalah wajib dan ia disandingkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah SWT berfirman:

أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya)”. (Qs. Annisa’: 59)[9]

Imam Muhammad Al-Baqir as. berkaitan dengan ayat yang berbunyi (Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu) beliau berkata: Yang dimaksud dengan ulil amri mereka adalah para Imam dari keturunan Fatimah as. hingga datangnya hari kiamat kelak.[10]

Diriwayatkan dari Hakim, ia berkata: Aku berkata kepada Imam Ja’far as.: Jiwaku adalah tebusanmu, beritahukanlah kepadaku siapakah ulil amri yang Allah perintahkan untuk taat kepada mereka? Imam menjawab: Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, Al-Husain, Ali putra Al-Husain, Muhammad putra Ali, dan aku Ja’far. Maka pujialh Allah yang telah mengenalkan kalian kepada para Imam dan pemimpin kalian sementara orang lain menyangsikan mereka.[11]

Dalam Al-Mizan disebukan riwayat dari Ibn Babawaih dengan sanadnya dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari: ketika Allah Azza Wa Jalla menurunkan kepada Nabi-Nya Muhammad saw. ayat (Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu) aku berkata: Wahai Rasulullah kami telah mengenal Allah dan Rasul-Nya, lalu siapakah ulil amri yang ketaatan kepada mereka disandingkan dengan ketaatan kepadamu? Beliau saw. menjawab: Mereka adalah para khalifahku wahai Jabir dan para Pemimpin kaum muslimin setelahku, yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husain, kemudian Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang di dalam Taurat dikenal dengan Al-Baqir dan kamu akan mengalami masanya wahai Jabir, jika engkau bertemu dengannya sampaikanlah salamku kepadanya, kemudian Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Al-Hasan bin Ali, kemudian seorang yang memiliki Nama seperti namaku Muhammad dan kuniyahnya adalah Hujjatullah (Hujjah Allah) di bumi-Nya dan Baqiyyatullah (peninggalan Allah) untuk hamba-hamba-Nya, ia adalah putra Al-Hasan bin Ali, dialah yang nantinya akan menguasai dunia dari ujung timur hingga ujung barat, dialah yang tersembunyi keberadaannya dari syiahnya dan para walinya sehingga tidak akan ada seseorang yang mengakui keimamahannya kecuali mereka yang hatinya telah Allah uji untuk beriman. Jabir berkata: maka aku bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah lalu apakah para pengikutnya (Syiah) dapat mengambil manfaat darinya semasa ghaibahnya? Rasulullah saw. menjawab: Tentu! Demi Dzat Yang mengutusku sebagai Nabi sesungguhnya mereka akan disinari dengan cahayanya dan mengambil manfaat dengan berwilayah kepadanya pada masa ghaibahnya seperti manusia yang tetap mendapatkan manfaat dari matahari walaupun ia sedang tertutup awan. Wahai Jabir ini termasuk rahasia dan ilmu yang tersembunyi pada Allah, maka rahasiakanlah kecuali kepada orang yang berhak dan layak mengetahuinya.[12]

[1] Jilid 1 Hal. 528

[2] Majma’ Al-Bayan, Jilid 3 Hal. 69

[3] Tafsir Al-Amtsal, Jilid 3 Hal. 272

[4] Al-khabar al-Mashdar, Hal. 69

[5] Jilid 1, Hal. 530

[6] Jilid 5, Hal. 192

[7] Ibid

[8] Ad-Daqaiq, Jilid 2 Hal. 494

[9] ibid

[10] Kamal Ad-Din, Bab 24 Hal. 280, potongan dari hadis ke 37

[11] Tafsir Al-‘Iyasyi, Jilid 1 Hal. 252

[12] Jilid 4 Hal. 435

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tematik. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar