Tafsir Surah al Hujurât (6): Pentingnya Menjaga Ukhuwah Islamiyah.

Tafsir Surah al Hujurât (6): Pentingnya Menjaga Ukhuwah Islamiyah.

وَإِنْ طائِفَتانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما فَإِنْ بَغَتْ إِحْداهُما عَلَى الْأُخْرى فَقاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ 

“Dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu mendamaikan antara keduanya. Tetapi jika yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai kembali kepada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil (9) Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (10)”. (Qs. al-Hujurat: 9-10)

Asbabun Nuzul Ayat

Berkaitan dengan sebab turunnya dua ayat ini disebutkan bahwa terdapat perselisihan antara dua kabilah Aus dan Khazraj dan keduanya adalah kabilah yang terkenal di Madinah. Perselisihan ini sampai menjadikan kedua kabilah ini saling membunuh, mereka bertengkar dengan menggunakan tongkat, pentungan dan sepatu. Maka turunlah dua ayat di atas mengajarkan kaum muslim cara menghadapi kejadian semacam ini.[1]

Pendapat lain mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan antara dua orang Anshar, di mana salah seorang dari mereka berkata kepada yang lainnya: “Aku akan mengambil hak ku darimu karena jumlah kabilahku lebih banyak”, lalu pihak yang lainnya berkata: “Mari kita pergi ke Rasulullah dan meminta keputusan beliau”, namun pihak pertama tidak setuju dan menjadikan perselisihan di antara keduanya bertambah besar sehingga membuat kabilah keduanya ikut bertengkar dengan menggunakan tongkat, sepatu bahkan pedang, lalu turunlah dua ayat di atas menjelaskan tugas kaum muslim saat terjadi perkara semacam ini.[2]

Dalam kitab ad-Durr al-Mantsur Ahmad, Bukhari, Muslim, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir, Ibn Mardawaih dan al Baihaqi meriwayatkan dari Anas, dia berkata: “Seseorang berkata kepada Nabi saw: “Andaikan engkau bisa mendatangi Abdullah bin Ubay”, kemudian Rasul berangkat dan menaiki keledai dan orang-orang muslim pun berangkat dengan berjalan kaki dan jalan yang mereka lalui adalah tanah yang berair, maka ketika Abdullah bin Ubay menemui mereka, dia berkata: “Menyingkirlah, demi Allah sungguh bau keledaimu telah menggangguku”. Maka seseorang dari kaum Ansar berkata: “Demi Allah sungguh bau keledai Rasulullah saw lebih wangi dari pada baumu”. Lalu orang-orang menjadi marah kepada Abdullah dan orang-orang dari kelompok Abdullah juga marah kepada pihak lawan dan terjadilah saling pukul di antara mereka ada yang menggunakan tangan ada pula yang menggunakan sandal, maka turunlah pada mereka ayat “Dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu mendamaikan antara keduanya”. Dalam beberapa riwayat seperti yang disebutkan dalam kitab al-Majma’ disebutkan bahwa yang mengatakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay bin Salul adalah Abdullah bin Ruwahah dan bahwa baku hantam itu terjadi diantara kelompoknya yakni dari Aus dan kelompok Abdullah bin Ubay dari Khazraj.

Kaum Mukmin Adalah Saudara:

Al Quran berbicara tentang undang-undang yang umum dan menyeluruh untuk setiap masa dan tempat: “Dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu mendamaikan antara keduanya”.[3]

Kata iqtatalu terbentuk dari asal kata al-qital yang bermakna al-harb (peperangan), hanya saja dengan memperhatikan qarinah yang ada di sini ia meliputi semua jenis pertengkaran walaupun tidak sampai pada tingkat peperangan dan konfrontasi militer, hal ini juga dikuatkan dengan kejadian yang telah disebutkan di atas berkaitan dengan sebab turunnya ayat ini.

Bahkan bisa dikatakan bahwa ia meliputi hal-hal yang terjadi sebelum pertengkaran seperti cekcok kata-kata yang memicu terjadinya perselisihan berdarah, maka sesuai dengan ayat ini wajib mendamaikan kedua pihak yang berselisih ini.

Dalam kitab tafsir al-Mizan disebutkan bahwa Al-iqtital dan at-taqatul memiliki satu makna seperti al-istibaq dan at-tasabuq dan kembalinya dhamir jamak dalam ayat ini pada kedua golongan adalah karena setiap golongan itu merupakan sekumpulan orang dan gabungan dari keduanya juga merupakan sekumpulan orang sebagaimana kembalinya dharmir tatsniyah pada kedua golongan itu dari segi arti.

Dinukil dari sebagian ahli tafsir terkait dengan dibedakannya kedua dhamir tersebut adalah karena pada awalnya pada saat berperang mereka tercampur oleh karenanya menggunakan dhamir jamak, dan pada saat proses perdamaian mereka dibedakan dan dipisahkan maka digunakanlah dhamir mutsannah.

Bagaimanapun semua kaum muslim memiliki kewajiban untuk mendamaikan dua pihak yang sedang berselisih dari kalangan mereka supaya tidak terjadi pertumpahan darah di antara mereka dan supaya mereka mengetahui tanggung jawab yang mereka miliki dalam permasalahan ini, sehingga mereka tidak sekedar menjadi penonton yang membiarkan perkara semacam ini tanpa peduli dan tergerak untuk membantu. Maka al-Quran mengajarkan kaum mukmin tentang tugas pertama mereka ketika menghadapi perkara semacam ini.

Selanjutnya al-Quran menjelaskan tugas kedua bagi kaum muslim yakni: “Tetapi jika yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain” dan tidak menerima usulan perdamaian “Maka hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai kembali kepada perintah Allah”.

Kata al-baghyu bermakna kedzaliman dan pelanggaran yang tidak benar, al-fay’u bermakna ar-ruju’ (kembali) dan yang dimaksud dari amru Allah adalah sesuatu yang Allah perintahkan maka makna ayat ini adalah jika salah satu golongan melanggar perjanjian atas golongan yang lain dengan cara yang tidak benar maka perangilah golongan yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada apa yang Allah perintahkan dan tunduk pada hukum-Nya.[4]

Jelas bahwa jika darah kelompok yang menolak perdamaian dan zalim sampai tertumpah di tengah-tengah proses perdamaian ini maka dosanya akan ditanggung oleh kelompok yang menolak ini, sebagaimana ungkapan yang mengatakan bahwa darah mereka yang tertumpah adalah sia-sia walaupun mereka adalah muslim karena yang dibahas di sini adalah konflik yang terjadi antara dua kelompok dari kaum mukmin.  

Demikianlah Islam melarang kezaliman bahkan jika itu mengakibatkan penyerangan terhadap pihak yang zalim karena nilai keadilan lebih mahal dari darah kaum muslim, kecuali jika tidak berhasil menggunakan cara damai.

Dan firman-Nya yang berbunyi “Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan” yakni jika kelompok yang melanggar perjanjian telah kembali kepada perintah Allah maka damaikanlah antara keduanya tapi jangan hanya dengan menanggalkan senjata dan meninggalkan peperangan tetapi damaikanlah secara adil dengan memberlakukan hukum-hukum Allah pada hal-hal yang dilanggar oleh pihak yang melanggar dari darah yang tertumpah atau harta atau hak-hak lain yang ia hilangkan. Ayat ini juga menegaskan bahwa orang muslim tidak diperbolehkan patuh pada kekuatan kelompok zalim yang menolak berdamai tapi justru ia harus mencapai perdamaian dan mencabut akar-akar yang menjadi faktor perselisihan, karena jika tidak demikian dengan berjalannya waktu saat pihak yang zalim merasa ia punya kekuatan kembali ia akan bangkit lagi dan memicu konflik untuk kedua kalinya.

Beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa dari uangkapan bil’adli (dengan adil – red) dapat dipahami jika ada hak yang hilang dari salah satu di antara kedua kelompok yang berselisih atau ada darah yang tertumpah atau hal lain yang bisa menjadi sumber perselisihan maka hal itu juga wajib diselesaikan, karena jika tidak maka proses ini tidak bisa disebut dengan mendamaikan secara adil.[5]

Dan karena terkadang timbul kecenderungan diri pada sebagian masyarakat ketika memberikan keputusan pada salah satu kelompok yang sedang berselisih sehingga menghilangkan kejujuran dalam memberi keputusan, maka al-Quran memperingatkan kaum muslim dan menjelaskan tugas keempat yang harus mereka lakukan pada saat seperti ini: “Dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil”.

Makna dari kata al-iqsath adalah memberikan setiap hal yang berhak didapatkan oleh mereka yakni keadialan. Dan firman Allah yang berbunyi “Dan hendaklah kamu berlaku adil” diathafkan pada “Hendaklah kamu mendamaikan antara keduanya menurut keadilan” adalah berfungsi sebagai penegasan.

Kemudian firman-Nya Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil adalah penjelasan tentang penyebab yang juga berfungsi sebagai penegasan, seakan-akan dikatakan: “Damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berbuat adil-lah dalam setiap urusan karena Allah mencintai orang-orang yang adil berkat keadilan mereka”.

Ayat berikutnya menambahkan alasan sekaligus sebagai penekanan dari ayat sebelumnya: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu”. Sebagaimana kamu berusaha mendamaikan dua saudara yang memiliki hubungan nasab maka kamu juga harus berusaha mendamaikan dua orang mukmin yang sedang berselisih secara adil. Al-Quran bahkan menganggap semua kaum mukmin bersaudara dan pertengkaran yang terjadi diantara mereka adalah seperti pertengkaran antar saudara yang harus segera didamaikan.

Dan karena seringkali dalam permasalahan semacam ini ikatan-ikatan (seperti pertemanan dan kekerabatan) menggantikan posisi aturan-aturan maka al-Quran menambahkan di akhir ayat sekali lagi mengatakan: “Dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. Dengan demikian jelaslah salah satu tugas dan tanggung jawab orang muslim kepada muslim lainnya dalam menegakkan keadilan sosial di antara mereka. Ayat ini juga merupakan nasehat untuk kedua pihak yang berperang dan untuk orang-orang yang mendamaikannya juga.

Terkait dengan tema yang dibahas dalam ayat ini ada dua hal penting yang perlu diperhatikan:

  1. Syarat-syarat memerangi ahlul baghyi.

Terdapat pembahasan dalam bab Fiqih yang berjudul “qitalu ahlil baghyi” yang maksudnya adalah memerangi kezaliman yang melakukan perlawanan terhadap pemimpin adil kaum muslim dan banyak hukum yang berkaitan dengan mereka disebutkan dalam bab ini. Hanya saja yang dibicarakan dalam ayat ini adalah tema lain yakni perselisihan yang terjadi antara dua golongan mukmin dan dalam perselisihan ini tidak ada perlawanan terhadap pemimpin kaum muslim yang adil dan tidak ada perlawanan terhadap pemerintahan Islam. Sebagian ahli Fiqih dan ahli tafsir ingin memperoleh titik jelas dari ayat ini, karena melakukan kezaliman terhadap seorang pemimpin yang adil menyebabkan kekafiran sedangkan perselisihan di antara orang-orang muslim menyebabkan kefasikan saja bukan kekafiran, karenanya al-Quran mengistilahkan kedua golongan dengan kaum mukmin dan menyebut mereka sebagai saudara maka tidak dibenarkan untuk menyamakan ahlul baghyi dengan orang-orang seperti mereka.

Dari ayat di atas dan dari isyarat-isyarat yang disebutkan dalam bab amar ma’ruf dan nahi munkar dapat kita peroleh hukum-hukum berikut ini:

  1. Mendamaikan dua kelompok dari kaum muslim yang bertikai adalah wajib kifayah.
  2. Untuk terealisasinya hal ini seseorang harus memulainya dari langkah-langkah yang sederhana terlebih dahulu dan jika tidak berhasil dengan cara-cara tersebut barulah diperbolehkan menggunakan senjata bahkan terkadang hal ini diharuskan.
  3. Setiap darah yang mengalir dari pihak yang melanggar perjanjian dan harta-harta yang mereka keluarkan semuanya sia-sia dan tidak memiliki jaminan karena dalam hal ini hukum syar’i dan kewajiban telah dilaksanakan.
  4. Tidak perlu meminta ijin kepada seorang hakim syar’i untuk mendamaikan dengan menggunakan kata-kata namun jika sudah beranjak ke level tindakan apalagi perkara berakhir dengan pertumpahan darah maka dalam hal ini harus meminta izin dan tidak diperbolehkan untuk melakukan satu perbuatan pun kecuali dengan izin pemerintahan Islam dan hakim syar’i.
  5. Pada saat golongan yang zalim dan melanggar perjanjian menumpahkan darah dari pihak yang mendamaikan atau merampas harta mereka maka semua itu akan dijamin oleh hukum syar’i, dan berlaku humum Qishas (pembalasan yang sepadan terhadap sesuatu yang diperbuat – red) jika terjadi pembunuhan yang disengaja. Demikian pula jika darah dari pihak yang berbuat zalim tertumpah atau merugikan harta mereka maka hukum Qishas dan jaminan juga berlaku di sini dan inilah yang dapat dipahami dari pernyataan bahwa setelah terjadi perdamaian pihak yang melanggar perjanjian tidak memikul tanggung jawab atas darah yang tertumpah dan harta yang terbuang karena hal ini tidak ditunjukkan oleh ayat, ini tidak benar dan ayat ini bukan dalam rangka menjelaskan semua maksud tersebut tetapi yang menjadi rujukan dalam permasalahan ini adalah seluruh asas dan kaidah yang ada dalam bab-bab Qishas dan kerugian.
  6. Karena tujuan dari peperangan ini adalah untuk menjadikan pihak yang zalim menerima kebenaran maka dalam peperangan ini tidak ada persoalan yang berkaitan dengan tawanan perang dan harta rampasan karena kedua kelompok adalah sama-sama muslim. Namun tidak ada larangan untuk menahan pihak yang menyulut perselisihan sementara waktu akan tetapi setelah perselisihan diselesaikan dan kedua kubu menjadi damai para tahanan harus langsung dilepaskan.
  7. Terkadang kedua kubu yang berselisih sama-sama zalim dan mereka saling membunuh dan merampas harta pihak yang lain dimana keduanya tidak ada yang memenuhi standar untuk dibela walaupun pastinya ada salah satu pihak yang melakukan kezaliman lebih banyak dari pihak lainnya. Maka hukum dalam permasalahan semacam ini tidak disebutkan secara jelas dalam al-Quran namun hukum ini bisa diambil dengan cara penghapusan karakteristik ayat yakni bahwa tugas orang-orang muslim adalah mendamaikan kedua golongan dan jika keduanya tidak sepakat untuk berdamai maka harus memerangi keduanya sampai mereka kembali pada perintah Allah. Dan hal-hal yang telah disebutkan di atas berkaitan dengan pihak yang berbuat zalim berlaku pada kedua golongan ini.

Sebagai penutup kami tegaskan kembali bahwa hukum bagi mereka yang melanggar perjanjian berbeda dengan hukum bagi mereka yang menentang seorang pemimpin yang ma’sum atau pemerintahan Islam yang adil, maka bagi kelompok terakhir ini terdapat hukum-hukum yang lebih keras dan kompleks yang disebutkan dalam pembahasan jihad di Fiqih Islam.

  1. Pentingnya ukhuwah islamiyah

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” ayat ini merupakan salah satu somboyan dasar dalam Islam yang memiliki makna yang sangat dalam.

Orang-orang biasanya ketika ingin menunjukkan hubungan yang lebih dekat dalam pekerjaan mereka mengistilahkannya dengan teman atau rekan kerja namun Islam mengangkat hubungan dan cinta kasih di antara orang-orang muslim sampai pada tahap ia menjadikannya setingkat dengan hubungan yang paling akrab antar manusia yakni hubungan persaudaraan.

Maka dengan landasan Islam yang urgen ini orang-orang Muslim dari golongan mana pun dan dari keturunan siapa pun bisa merasakan hubungan persaudaraan di antara mereka walaupun sebagian mereka hidup di belahan dunia timur dan yang lainnya hidup di belahan dunia barat.

Dalam manasik haji misalnya dimana seluruh orang Muslim dari seantero alam berkumpul pada pusat Tauhid, pada saat itu tampak hubungan, keterikatan dan keharmonisan mereka. Dengan ungkapan lain Islam melihat orang muslim semuanya seperti satu keluarga dan menyebut mereka semua dengan saudara bukan hanya dalam perkataan atau simbol-simbol belaka namun juga dalam perilaku dan perhatian kepada mereka semua.

Di dalam riwayat-riwayat Islam terdapat penegasan berkaitan dengan hal ini khususnya pada permasalahan yang berkaitan dengan segi-segi ilmiyah, dan berikut ini beberapa hadis yang terkait dengan tema ini:

  1. Dari Rasulullah saw, beliau bersabda:

مَثَلُ الأَخَوَينِ مَثَلُ اليَدَينِ تَغْسِلُ احْدَاهُمَا الأُخرَى

“Perumpamaan dua orang bersaudara adalah seperti dua tangan yang salah satunya mencuci yang lainnya”.[6]

  1. Rasulullah saw bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ و لا يَخْذُلُه و لا يُسلِمُهُ

“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak mendzaliminya, tidak merendahkannya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh – red)”.[7]

  1. Dari Imam as-Shadiq as:

المُؤمِنُ أَخُو المُؤمِنِ كالجَسَد الواحِدِ اذا اشتَكى شيئا منه وَجَدَ ذالك في سائر جسده، وأرواحُهُمَا مِنْ رُوحٍ واحِدَةٍ

“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, mereka seperti satu tubuh jika sebagian anggota tubuhnya terkena sakit maka rasa sakitnya akan dirasakan seluruh tubuhnya, dan ruh keduanya berasal dari ruh yang satu.[8]

الْمُؤْمِنُ أَخُوْ الْمُؤْمِنِ عَيْنُهُ وَدَلِيْلُهُ لاَ يَخُوْنُهُ وَلاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَغُشُّهُ وَلاَ يَعِدُهُ عِدَةً فَيُخْلِفُهُ

“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bersaudara, ia (bagaikan) mata dan kompas penunjuknya, tidak menghkianatinya, tidak menzaliminya, tidak menipunya dan tidak juga menjanjikan sesuatu yang tidak bisa ia tepati”.[9]

Banyak riwayat-riwayat lain yang berkaitan dengan hak seorang muslim atas saudara muslimnya dan jenis-jenis hak sebagian mereka terhadap sebagian lainnya, pahala mengunjungi saudara muslim dan membawa kebahagiaan ke dalam hati mereka khususnya memenuhi kebutuhan mereka, menghilangkan kesedihan dari hati mereka, memberikan makan dan pakaian kepada mereka serta memuliakan dan menghormati mereka, dan salah satu dari hak-hak seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah mendamaikan dan memeperbaiki hubungan antara saudara sesama muslim seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat di atas.

  ________________

[1] Tafsir majma’ al-Bayan, Juz 9 hal 132

[2] Tafsir al-Qurthubi, Juz 9 hal 6136

[3] Walaupun kata thaifataani di sini adalah isim mutsanna (menunjukkan arti 2) dari kata thaifah namun fi’ilnya menggunakan bentuk jamak “iqtatalu” karena setiap kelompok itu terdiri dari sekumpulan individu

[4] Al Mizan Fi Tafsir al Quran,18/319.

[5] Tafsir al-Mizan, juz 18 hal. 342

[6] Al-Mahajjah al-Baydha’,3/ 319, Kitab as-Shuhbah wal Ma’asyir bab 2

[7] Ibid hal. 332.

[8] Ushul al-Kafi,2/133.

[9] Ibid.

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tartibi. Tandai permalink.

Satu Balasan ke Tafsir Surah al Hujurât (6): Pentingnya Menjaga Ukhuwah Islamiyah.

  1. Sulami berkata:

    Ngaji tafsir di sini mengasyikkan.. kaya ilmu…. syukron… kami nanti lanjutannya….

    Suka

Tinggalkan komentar