Tafsir Tematik [10] Dan Selesailah Tugas Nabi Muhammad Saw.! [Bag. 2]

Nabi saw. Mempersiapkan Imam Ali as. Sebagai Pemimpin Lanjutan Pasca Kenabian

Di sini dapat ditegaskan bahwa Nabi mulia saw. telah melakukan proses persiapan dalam mendidik Imam Ali as. dan membekalinya dengan segala yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas kepemimpinan pasca kenabian. Yang demikian bahkan dapat kita temukan sejak awal masa kenabian. Nabi saw. telah mempersiapkan langkah-langkah demi suksesnya tujuan itu, yaitu memikulkan Imam Ali as. tugas kepemimpinan sosial, politik dan keagamaan langsung sepeninggal Nabi saw.

Dan akan tampak bagi kita dari serangkaian perjalanan peristiwa yang mengiringi sejarah hidup Nabi saw. dan data-data sejarah yang diabadikan para sejarawan Islam bahwa persiapan dilakukan dalam dua fase:

Fase Pertama: dimulai dari sejak sebelum masa kenabian, sebagaimana disepakati para ahli sejarah, kemudian bersambung dan menyatu dengan fase kedua.

Nabi saw. telah mengambil alih pemeliharan Imam Ali as dari Abu Thalib ayahnya sejak beliau masih kanak-kanak. Imam Ali as. berada dalam kontrol, pengawasan, arahan dan didikan langsung Nabi saw. dan beliau saw. tidak mau berpisah dengannya kecuali dalam waktu-waktu dharurat yang mengharuskan.

Kenyataan ini bukan hal samar dalam sejarah, lembaran-lembaran sejarah hidup Nabi saw. penuh dengan perhatian itu. Dalam Sirahnya, Ibnu Hisyam mengatakan, “Dan dari nikmat-nikmat yang Allah SWT karuniakan untuk Ali ibn Abi Thalib ra. ialah bahwa ia berada dalam pangkuan (pemeliharan) Rasululah saw. sebelum Islam (kenabian).”[1]

Dalam kesempatan ini saya akan mencukupkan dengan menyebut pernyataan yang pernah disampaikan Imam Ali as. sendiri tentang hubungannya yang istimewa dengan Nabi saw. dalam pidato yang dikenal dengan pidato Al Qashi’ah, beliau berkata: “Dan kalian telah mengetahui posisiku di sisi Rasulullah saw. dengan kekerabatan yang sangat dekat dan kedudukan yang istimewa; beliau meletakkanku di pangkuannya dan aku ketika itu masih kanak-kanak, beliau menghimpunku ke dadanya, meletakkannku di ranjangnya, beliau menyentuhkan jasadnya kepadaku, beliau menciumkan semerbak harumnya kepadaku. Terkadang beliau mengunyah sesuatu lalu mendulangkannya untukku. Beliau tidak pernah menemukan kebohongan dalam ucapan barang sekali dariku dan tidak juga menemukan penyimpangan dalam tindakan… Dan aku telah mengikuti beliau bak anak onta mengikuti induknya, setiap hari beliau mengangkat untukku dari akhlak beliau sebuah panji, dan memerintahku agar bersuri tauladan dengannya. Beliau tinggal bersemedi di gua Hiraa’ pada setiap tahun, aku menyaksikan beliau dan tiada orang lain yang menyaksikannya. Tiada sebuah rumah ketika itu yang menghimpun atas dasar Islam selain Rasulullah, Khadijah dan aku yang ketiganya. Aku melihat cahaya wahyu dan kerasulan dan mencium semerbak harum kenabian… .[2]

Gambaran yang disampaikan Imam Ali as. tentang dirinya dan perlakuan khusus Nabi saw. terhadapnya dalam pidato di atas mengungkap sejatinya tujuan agung darinya.

Sesungguhnya pendidikan khusus yang diperoleh Imam Ali as. dan perhatian luar biasa dan keinginan yang besar agar beliau selalu berada di samping Nabi saw. dan dekat dengan cahaya wahyu dan menyambut hembusan semerbak harumnya kenabian, itu semua agar Imam Ali as. dapat menerima pelajaran-pelajaran pertama dan arahan kenabian secara langsung dan dengan demikian akan terefleksi dalam pola pikir dan keyakinannya, sehingga sejarah mencacat bahwa beliau tidak ternodai oleh penyembahan berhala sejak kecil, beliau tidak pernah sujud kepada arca manapun dari arca-arca kaum Musyrik Makkah kala itu[3] sehingga sebutan nama beliau selalu dibarengi dengan kalimat Karramallahu Wajhahu   (-semoga- Allah memuliakan wajahnya). Akal pikiran beliau tidak tercemari oleh kemusyrikan walau sedetik, dan itu semua berpengaruh pada kepribadian beliau sehingga “beliau (Nabi saw.) tidak pernah menemukan kebohongan dalam ucapan barang sekali dariku dan tidak juga menemukan penyimpangan dalam tindakan…” dan semua ini tidak diragukan lagi membuktikan adanya persiapan khusus, selain dari keyakinan bahwa Imam Ali as. dan para Imam dari keturunan beliau adalah pribadi-pribadi yang ma’shum berdasarkan ayat At Tathhir, hadis Tsaqalain dan nas-nas suci lain.

Dan yang perlu kita cermati di sini ialah bahwa perhatian khusus Nabi saw. kepada Imam Ali as. tidak terbatas pada masa kanak-kanak beliau saja, perhatian itu tidak terbatas pada periode tertentu, karena kita menemukan bahwa Rasulullah saw. sang pemimpin tertinggi selalu ingin agar Imam Ali as. selalu berada di sisi beliau, siang dan malam hari, dan pada setiap kesempatan yang memungkinkan beliau untuk memberikan arahan khusus.

Banyak data sejarah dan hadis yang menegaskan kenyataan itu, di antaranya adalah yang ditegaskan Imam Ali as. sendiri, beliau bersabda:

لِيْ مَعَ النبِيِّ مَدْخَلاَنِ مَدْخَلٌ بالْلَيْلِ و مدخلٌ بالنَهارِ.

“Untukku bersama Nabi saw. ada dua kesepatan masuk, sekali di malam hari dan sekali di siang hari.”[4]

Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Aku masuk menemui Nabi Allah saw. setiap malam, jika beliau shalat, beliau bertasbih (sebagai tanda izin untukku_pen) dan jika tidak sedang shalat beliau mengizinkan lalu aku masuk.” [5]

Dan hadis-hadis serupa banyak diriwayatkan para muhaddis.[6]

Bahkan kita temukan bahwa Nabi saw. tidak berpisah dengan Imam Ali as. kecuali dalam kondisi darurat demi memelihara keselamatan jiwa Nabi saw. atau demi menjaga keselamatan da’wah dari bahaya yang mengancamnya.

Dalam kesempatan ini saya hanya akan mengajukan dua contoh peristiwa sebagai bukti kebenaran hal itu:

Peristiwa Pertama: yang terkait dengan keselamatan jiwa Nabi saw.. yaitu ketika malam beliau hijrah meninggalkan kota Mekkah dan memerintahkan Imam Ali as. agar tidur di ranjang Nabi saw. untuk mengelabui kaum kafir dan menganggap Nabi masih berada di tempat tidur tersebut supaya mereka tidak mengejar beliau saw. demi keselamatan jiwa Nabi saw. Keberanian Imam Ali as. pada malam itu adalah sebuah pengorbanan yang sangat besar artinya dan dibanggakan Allah SWT. di hadapan para malaikat-Nya seperti dalam banyak riwayat para muhaddis.

Dan untuk mengabadikan peristiwa itu Allah SWT. menurunkan sebuah ayat yang akan dikenang dan dibaca umat Islam sepanjang masa.

Allah berfirman:

وَ مِنَ الناسِ مَنْ يَشْرِيْ نَفْسَهُ إبْتِغاءَ مَرْضاتِ اللهِ , وَ اللهُ رَؤُوْفُ بِالعِبادِ.

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS:2;207).

Demikian ditegaskan Ar Razi dalam tafsirnya dan Al Hakim Al Hiskani dalam Syawahid at Tanzil-nya.[7]

Peristiwa Kedua: yaitu yang terkait dengan penjagaan Risalah dan Da’wah Islam… ketika Rasulullah saw. hendak keluar kota Madinah dalam sebuah pertempuran besar dan penuh tantangan, selain perjalanan yang sangat jauh, -cuaca yang luar biasa panas- ada yang mengatakan perang Tabuk- dan beliau meninggalkan Imam Ali di kota Madinah sebagai khalifah[8], sebab Abudullah bin Ubai ibn Salul-pentolan kaum Munafik- dan beberapa pimpinan kaum Munafik telah sengaja tidak ikut serta dalam peperangan itu. Kondisi seperti itu mengharuskan Imam Ali as. ditinggalkan di kota Madinah untuk mengantisipasi setiap langkah dan gerakan kaum munafik yang dapat membahayakan eksistensi Dawlah Islamiyah di bawah pimpinan Rasulullah saw. Ath Thabari melaporkan, “Ketika Rasulullah saw. berangkat menuju Tabuk, Ibnu Ubay bersama kaum munafik dan penyandang karaguan tidak ikut serta. Ibnu Ubay adalah saudara bani Auf ibn al Khazraj, dan Abdullah ibn Nabtal saudara bani Amr ibn Auf dan Rifa’ah ibn Zaid ibn Tabut saudara bani Qainuqaa’. Mereka ini adalah pembesar kaum munafik dan yang selalu berbuat makar tehadap Islam dan pemeluknya.”

Ath Thabari melanjutkan, “Dan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Humaid dari Salamah dari Ibn Ishaq dari Amr ibn Ubaid dari Hasan al Bashri bahwa, “Allah menurunkan ayat ini untuk mereka: “Dan sesungguhnya dari dahulu mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelpagai macam tipu daya untuk (merusak)mu… “(QS:9;48)

Di sini kaum munafik menyadari bahwa keberadaan Ali di kota Madinah akan merusak rancangan makar jahat mereka dan tidak akan membiarkan mereka berkesempatan beraksi. Lalu mereka membuat-buat berita bohong bahwa Nabi meninggalkan Ali di Madinah karena beliau tidak menginginkan Ali berangkat bersamanya. Ali hanya membebani Nabi saja! Dan sekali lagi untuk menggagalkan makar hajat ini, Ali bergegas membawa pedang beliau dan menyusul Rasulullah saw. ketika beliau sampai Jiraf sebuah desa dekat kota Madinah. Di sini Nabi swa. menjelaskan bahwa kedudukan Ali di sisi Nabi saw. seperti kedudukan Harun di sisi Musa as.

Dalam lanjutan laporannya, Ath Thabari mengatakan, “Maka kaum munafik membuat kegaduhan dan membuat isu-isu palsu seputar Ali ibn Abi Thalib, mereka berkata, “Nabi tidak meninggalkan Ali kecuali karena beliau keberatan. Dan ketika itu Ali mengambil senjatanya dan keluar menyusul Nabi saw. dan ia bertemu di Jiraf –sebuah desa dekat kota Madinah-, kemudian Ali berkata, “Wahai Nabi Allah, kaum munafik mengaku bahwa Anda meninggalkanku karena keberatan dan Anda ingin keringanan dengan tidak menyertakanku.” Maka Rasulullah saw.. Bersabda, “Mereka berbohong! Akan tetapi aku tinggalkan kamu karena untuk urusan yang aku tinggalkan… Tidakkah kamu rela kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku.”[9] Maka Ali kembali ke Madinah dan Rasulullah pun melanjutkan perjalanan beliau.[10]

Al Muhibb Ath Thabari dan ulama lain meriwayatkan dari sahabat Sa’ad, ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. sampai di desa Jiraf ada sekelompok orang munafik (yang tidak ikut berjihad bersama Nabi saw.) menuduh bahwa Ali ditinggalkan (di Madinah) karena Nabi tidak suka keberangkatannya. Maka Ali keluar dengan membawa senjata menjumpai Nabi saw. di Jiraf dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya belum pernah absent dalam berjihad bersama Anda sebelum sekarang ini, dan ada orang-orang munafik menganggap bahwa Anda meninggalkan saya karena tidak menyukai keikutsertaanku.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, “Mereka berbohong, akan tetapi aku tinggalkan kamu karena untuk urusan yang aku tinggalkan, maka kembalilah dan uruslah keluargaku. Tidakkah kamu rela keududkanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku”. Maka Ali pun pulang ke kota Madinah dan Rasulullah saw. melanjutkan perjalanan beliau.”[11]

Hadis Manzilah ini telah diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dengan  redaksi sebagai berikut:

Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.- dalam sebuah hadis panjang yang memuat sepuluh keistimewaan Imam Ali as.- diantaranya, “Nabi saw. keluar bersama orang-orang dalam peperangan Tabuk. Lalu Ali as. berkata, “Bolehklah aku ikut serta bersama Anda?” Nabi saw. menjawab, “Jangan!”

Imam Ali sedih dan meneteskan air mata. Kemudian Nabi saw. bersabda kepadanya, “Tidaklah engkau rela kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja kamu bukan seorang nabi?! Sesungguhnya tidak sepatutunya aku pergi kecuali kamu sebagai khalifahku.”[12]

*** *** ***

Dan yang mengundang perhatian kita ialah bahwa Nabi mulia saw. senantiasa mengungkapkan kerinduannya kepada Ali ketika Ali tidak berada di sampingnya. Beliau begitu menanti-nanti kehadiran Ali as. dan menyaksikan wajahnya. Ummu Athiyah melaporkan –sebagaimana diriwayatkan Ibnu Katsir dalam Nihayahnya dan ia membenarkan riwayat ini[13]-, ia berkata, “ Nabi saw. mengutus satu peleton pasukan yang Ali di dalamnya.” Ia (Ummu Athiyah) berkata, “AKu mendengar beliau saw. bersabda:

اللهُمَّ لاَ تُمِتْنِيْ حَتَّى تُرِيَنِيْ علِيًّا.

“Ya Allah Jangan matikan aku sehingga Engkau memperlihatkan Ali kepadaku.”[14]

Bahkan sampai-sampai ketika beliau mendapat hidangan seekor burung panggang dari surga, beliau tidak mau memakannya sendirian. Beliau berdoa agar Allah SWT berkenan mendatangkan Ali as. untuk memakannya bersama beliau. Dan lebih dari itu, kesempatan tersebut dijadikan sebuah momen penyampaian sebuah keutamaan agung bagi Imam Ali as. Beliau menyebut Ali sebagai hamba Allah paling mulia dan paling dicintai Allah SWT. Hadis ini kemudian dikenal dengan nama hadis Ath Thair (burung) karena hidangan yang diturunkan untuk Nabi saw. adalah thair, seekor burung panggang.[15]

Nabi saw. bersabda:

اللَّهُمَّ إئْتِنِي بِأَحَبِّ خَلْقِكَ إلَيْكَ يَأْكُلُ مَعِيْ هَذَا الطَيْرَ.

“Ya Allah datangkan kepadaku makhluk-Mu yang paling Engkau cintai agar makan bersamaku burung ini.”[16]

Lalu Ali datang dan makan bersama beliau.[17] Dari hadis ini terlihat jelas bahwa Nabi saw. hendak menegaskan bahwa Ali as. adalah hamba yang paling dicintai Allah SWT.

Dari pemaparan singkat ini tidak diragukan lagi bahwa pendidikan yang diberikan secara khusus dan istimewa kepada Ali as. pada dasarnya bertujuan mempersiapkannya untuk memikul tanggung jawab kepemimpinan pasca kenabian, tidak hanya sekedar menjadi salah satu poin penting dan menonjol. Sebab kita menyaksikan bahwa beliau saw. telah mendidik beberapa sabahat beliau dengan didikan khusus, namun demikian tidak seperti yang diberikan untuk Ali as. hal mana mengungkap kepada kita bahwa tanggung jawab yang dipikulkan ke pundak Ali as. jauh lebih besar dari tanggung jawab yang lainnya. Mereka justru dipersiapkan untuk menjadi pendukung dan penopang pemerintahan Ali as. kelak.

 Fase Kedua: Fase ini dimulai dengan peran Nabi saw. dalam mengungkap kepribadian agung Ali ibn Abi Thalib as. dan kedudukan mulia beliau as. di sisi Rasulullah saw.

Nabi saw. mengkhususkan Imam Ali as. dan membekalinya dengan ilmu-ilmu syariat dan wahyu dan rahasia-rahasia ketuhanan. Lebih dari yang biasa beliau berikan kepada para sabahat lainnya. Dan barang siapa merujuk dan meneliti kitab-kitab hadis dan sejarah pasti akan dengan mudah menemukan bukti-bukti yang mendukungnya.

Dalam kesempatan ini saya hanya akan menyebutkan sekelumit dari apa yang diabadikan para ulama dan para muhadis.

Nabi saw. telah secara langsung menangani tugas mempersiapkan kemampuan ilmiah dan intelktual Imam Ali as. serta membekalinya-dan tidak sahabat lain- dengan pengetahuan komprehensif dan tuntas tentang Al quran dan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya, dengan hikmah dan hukum-hukum syariat Islam.

Dalam hal ini Imam Ali as. bercerita tentang dirinya:

عَلَّمَنِيْ رسولُ اللهِ (ص) أَلْفَ بابٍ مِنَ العِلْمِ, يَفْتَحُ لِيْ مِنْ كُلِّ بابٍ أَلْفَ بابٍ.

“Rasulullah saw. mengajarkan kepadaku seribu bab ilmu dan beliau membukakan untukku dari setiap bab itu seribu bab ilmu lain.”[18]

Dalam proses persiapan ini, terkadang Imam Ali as. datang dan bertanya kepada Nabi saw. dan apabila ia kehabisan bahan pertanyaan, Rasulullah saw. yang langsung menyiramkan ilmu itu kepada Ali as. dan Imam Ali as. -disamping sebagai proyek Tuhan, -jika redaksi itu dapat dibenarkan- beliau memiliki semangat tinggi dan kecerdasan yang luar biasa.

Imam Ali bersabda:

كُنْتُ إذَا سَأَلْتُ رسولَ اللهِ (ص) أَعْطانِي و إذا سَكَتُّ إبْتَدَأَنِيْ

“Aku jika bertanya kepada Rasulullah saw. beliau memberiku jawaban dan jika aku diam beliau memulia (memberi)ku.”[19]

Semua perhatian itu beliau berikan atas dasar perintah khusus dari Allah SWT. Rasulullah saw. menegaskan hal itu dengan sabda beliau:

إن اللهَ أَمَرَنِيْ أنْ أُعَلِّمَكَ و أنْ أُدْنِيَكَ ولاَ أَجْفُوَكَ ولا أُقْصِيَكَ.

“Sesungguhnya Allah memerintahku untuk mengajarimu dan mendekatkanmu (kepadaku), dan tidak berlaku kasar terhadapmu serta menjauhkanmu.”

Lalu turunlah ayat 12 Surah Al Hâqqah (69).[20]

Oleh karenanya beliau adalah sahabat Nabi saw. yang paling pandai dan mengerti semua rahasia kenabian dan kerasulan, dan semua ilmu Al Kitab (Al qur’an) serta ilmu-ilmu Rasulullah saw. telah diwarisi Ali as.

_________________

[1] Sirah Ibnu Hisyam:187, Dâr Al Kotob Al Ilmiyah Beirut.

[2] Nahj Al Balâghah: 2/411, khutbah no.190, dengan komentar Syeikh Muhammad Abduh.

[3] Manâqib Amiril Mu’minin,2/540-541 dari Abu Said Al Khudri.

[4] As-Sunan Al Kubra; An Nasa’i,5/141, hadis 8502 dan Khashaish dengan komentar Abu Ishaq Al Huwaini: 96, hadis 112, Dâr Al Bâz, Makkah Al Mukarramah.

[5] Khahshaish:94, hadis 109 dan sanadnya bagus.

[6] Diantaranya dapat Anda temukan dalam Khashaish hadis: 109,110,11,112 dan113.

[7] Tafsir Mafatih Al Ghaib; Ar Razi:5/204, Syawahid At Tanzil; 1/96, hadis 133-142, dari sahabat Abu Said Al Khudri, Ibnu Abbas dan Imam Ali Zainal Abidin ibn Husain as. dan selain dua ulama’ di atas hadis yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun untuk Imam Ali as. juga diriwayatkan para ulama’ lain seperti ats-Tsa’labi dalam Tafsirnya, Abu Nu’aim Al Ishfahani dalam Ma Nazala Min Al qur’an Fi Ali as. Al Ghazzali dalam Ihya’nya dan Al Qanduzi dalam Yanabi’’nya.

[8] Lihat Sunan At Turmudzi:5/596. Kata khalifah sesuai arti bahasanya menunjukkan bahwa ia memiliki kewenangan dan tugas seperti orang yang menyerahkan khilafah itu kepadanya. Khalifah Nabi saww. ialah seorang yang akan menduduki posisi yang selama ini disandang oleh Nabi saww.  kecuali jika ada bukti pengecualian.

[9] Ibid,117 dari riwayat Ibnu Ishaq, dan Al Hafidz Ad Dimasyqi meriwayatkan dengan redaksi lain dalam Mu’janya.

[10] Tarikh Ath Thabari,2/182-183 dan Al Bidayah wa An Nihayah,7/340.

[11] Ar Riyadh An Nadhirah.Jilid:II/Juz:3/Hal.117 dari riwayat Ibn Ishaq, dan Al Hafidz ad Dimasyqi meriwayatkan dengan redaksi lain dalam Mu’jamnya, dan Ath Thabari dalam tarikhnya,2/182-183 dan Al Bidayah wa An Nihayah  ,7/340.

[12] Musnad Ahmad,1\230, Khashaish An Nasa’i: 34 hadis.23 dan komentatornya berkata, “Sanadnya hasan. Saya berkata, “Akan tetapi yang benar ialah bahwa hadis ini dengan sanad di atas adalah shahih, sebab Abu Balaj ibn Abi Muslim yang meraka cacat sebenarnya telah ditsqahkan oleh Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, An Nasa’i dan Ad Dârulquthni. Abu Hatim berkata,”Ia baik hadisnya, tidak apa-apa dengannya. Ia dicacat oleh sebagian ulama’ hanya gara-gara meriwayatkan sebuah hadis tentang neraka Jahannam. Dan hal demikian tidak meniscayakan seluruh hadisnya dilemahkan atau kepercayaan terhadapnya pudar. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al Muhibb Ath Thabari dalam Ar Riyadhnya:Jilid II/Juz 3/Hal 174-75 dari riwayat Ahmad, Al Hafidz Abu Al Qasim Ad Dimasyqi dalam Al Muwafaqat dan Al Arba’in ath Thiwal, dan An Nasa’i meriwayatkan sebagaian darinya, dan juga Al Hatsami dalam Majma’nya,9\119.

[13] Al Bidayah wa An Nihayah  ,7/357.

[14] Al Taj Lil Ushul Fi Ahadits ar Rasul; Syeikh Manshur Ali Nashif,3/334.

[16] Sunan at Turmudzi dengan syarah Al Mubârakfûri, 10/240-241, bab 95, hadis 3820 dan ia berkata, ”Ini adalah hadis hasan.” Al Bidayah wa An Nihayah,7/357 dan ia menggolongkannya hadis hasan. Dan At Taaj Al Jami’ Lil Ushul,3/334.

[17] Hadis riwayat At Turmudzi,10/223, bab87, hadis 3805. dan Khashais: 25, hadis 12 dengan tambahan: maka Abu Bakar datang, Nabi menolakknya masuk, Umar datang Nabipun menolaknya lalu datanglah Ali maka Nabi mengizinkannya. Dan dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Anas ibn Malik pembantu rumah tangga Nabi saw. berusaha menghalang-halangi Imam Ali as. untuk masuk menemui Nabi saw. dan ketika ditegur ia beralasan bahwa ia ingin kalau yang mendapatkan kemuliaan itu adalah seorang dari anggota sukunya. Dan sejarah mencatat bahwa di masa kekhilafahan Imam Ali as. ketika beliau berpidato dan meminta kesaksian dari para sabahat bahwa Nabi saw. pernah bersabda mengangkat Imam Ali di Ghadir Khum, lalu bangunlah beberapa orang sabahat yang bersaksi bahwa mereka mendengar Nabi bersabda demikian kecuali Anas dan beberapa sahabat lain enggan bersaksi dengan alasan berpura-pura lupa. Imam Ali mendo’akan mereka yang berpura-pura lupa agar tertimpa bala’ yang memalukan dan Anas terkena belang yang tidak dapat ia tutup-tutupi dengan kain serban sekalipun. Dan Anas mengakui bahwa belang itu adalah karena do’a Imam Ali as.  Para ulama’ Ahlusunnah kebingungan menghadapi hadis ini, sebab ia dengan tegas mengatakan bahwa Ali adalah hamba paling dicintai Allah, dan itu artinya beliau lebih mulia dari Abu Bakar ash-Shiddiq dan yang demikian itu bertentangan dengan keyakinan mereka! Maka sebagian dari mereka mengambil jalan pintas dengan menganggapnya hadis palsu, dengan demikian semuanya beres! Adapun banyaknya bukti yang menguatkan keshasihan hadis tersebut dalam standar yang ditetapkan ulama’ Ahlusunnah sendiri, maka hal demikian bukanlah sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Yang penting, keyakinan tentang keafdhalan Abu Bakar yang merupakan prinsip mazhab(!) harus dipertahankan dan diselamatkan!

[18] Hadis pernyataan Imam Ali as. tentangnya dan serupa dengannya dapat Anda temukan dalam:1) Yanabi’ Al Mawaddah:71,73,76 dan 77 dari Ashbugh ibn Nubatah, 2) Fathu Al Malik Al Aliy; Sayyid Ahmad Al Maghribi:19, 3) Arjah Al Mathalib-seperti dinukil dalam Fulk an-Najat:1/413, 4) Al Arba’in Haditsan; Al Harawi:47

[19] Hadis riwayat Sunan At Turmudzi: Bab 88,10/225, hadis no.3806, Khashaish, Bab Manzilatu Ali Karramallahu Wajhahu wa Qurbuhu Min an-Nabi:97 hadis 114,115 dan116 dan Mustadrak Al Hakim.

[20] Hadis riwayat ath-Thabari dalam tafsirnya:29/56 dasi sabahat Buraidah ibn Aslam. Lebih lanjut baca Tafsir Nur Tsaqalain; penulis:150-157, Ayat 9. Cet. Pertama.

Pos ini dipublikasikan di Bukti-bukti Imam Ali as. Dalam Al Qur'an, Kajian Qur'ani, Renungan Al Qur'an. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar