Keistimewaan Nabi saw. dalam al-Quran [4]: Peristiwa Mubahalah Bukti Keistimewaan Rasul dan Ahlul Baitnya

فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَآءَنَا وَأَبْنَآءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَّعْنَتَ اللهِ عَلَى الْكٰذِبِيْنَ

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”. (Qs. Ali Imran: 61)

Dalam tafsir Al-Amtsal disebutkan bahwa Al-mubahalah berasal dari kata al-buhlu yang bermakna at-tarku (meninggalkan) dan raf’u al-qaid (lepasnya kendali). Adapun pemaknaan ibtihal dengan laknat dan kematian serta jauh dari Allah, itu adalah karena dalam permasalahan ini Allah meninggalkan hamba-Nya. Inilah makna asli dari mubahalah. Sementara pemahaman yang dapat diambil dari ayat di atas adalah saling melaknat, yaitu dengan berkumpulnya orang-orang yang sedang berselisih faham berkaitan dengan persoalan agama di suatu tempat lalu mereka memohon kepada Allah untuk mengungkap kesalahan orang yg berdusta dan menurunkan hukuman kepadanya.

Ayat ini berbicara kepada Rasul saw: Jika ada seseorang yang tetap bersikukuh berdebat denganmu setelah adanya bukti yang nyata terkait dengan Isa, maka ajaklah dia untuk bermubahalah, sampai ia membawa anak-anak dan wanitanya, dan kamu ajak juga anak-anak dan wanitamu dan berdoalah kepada Allah untuk mengungkap siapa yang berdusta.

Mungkin bentuk mubahalah dengan cara seperti ini tidak dikenal oleh bangsa Arab, namun ia merupakan metode yang menjelaskan kebenaran Muhammad sebagai Nabi dan keimananannya secara pasti. Yakni mana mungkin seseorang yang tidak yakin akan hubungannya dengan Allah berani masuk ke medan ini, lalu menentang lawannya untuk datang dan memohon bersamanya kepada Allah untuk menurunkan bencana kepada pihak yang berdusta? Tidak diragukan lagi bahwa masuknya ia ke medan ini sangatlah berbahaya, karena orang yang ikut bermubahalah jika doanya tidak diistijabah dan tidak muncul hukuman bagi pihak lawannya, maka akan menjadi jelas skandal yang ia miliki. Bagaimana mungkin seorang yang berakal mau melakukan hal semacam ini tanpa yakin akan kebenaran prinsip yang ia pertahankan?.

Sehingga ajakan Rasulullah saw. untuk bermubahalah merupakan salah satu bukti akan kebanaran dakwah dan iman beliau yang kokoh kepada risalah yang beliau bawa, terlepas dari hasil mubahalah itu sendiri nantinya.

Dalam peristiwa ini para deputi kristen Najran meminta Rasulullah agar memberikan waktu kepada mereka sehingga mereka dapat betukar pikiran dengan para tetua mereka. Adapun hasil dari musyawarah mereka adalah bahwa memerintahkan orang-orangnya untuk ikut dalam mubahalah tanpa takut jika mereka melihat Muhammad datang bersama banyak orang, karena hal itu berarti ia hanya ingin menakut-nakuti mereka dan perkara yang ada padanya tidaklah benar. Namun jika ia datang dengan beberapa orang dari keluarganya beserta anak-anaknya, maka hendaknya mereka mengetahui bahwa ia benar-benar Nabi Allah, dan mereka harus menghindari mubahalah dengannya.

Orang-orang kristen pun datang ke tempat yang telah ditentukan, kemudian mereka menyaksikan Rasulullah saw. datang dengan menggendong Al-Husain di tangannya dan menggandeng Al-Hasan dengan tangan yang lain, di belakang beliau ada Ali dan Fatimah, beliau meminta kepada mereka untuk mengamini doa beliau ketika bermubahalah. Saat orang-orang kristen menyaksikan hal tersebut, mereka mulai khawatir dan menolak untuk ikut dalam mubahalah, dan menerima hubungan kerja sama dengan mereka dengan memenuhi persyaratan sebagai ahlu dzimmah[1].[2]

Alasan Rasul saw. Mengajukan untuk Bermubahalah

Dalam kitab Al-Majma’ diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ayat di atas turun kepada utusan dari Najran yakni Aqib dan Sayd serta beberapa orang yang bersama mereka, mereka berkata kepada Rasulullah saw: Apakah kamu pernah menyaksikan seorang anak yang lahir tanpa seorang ayah? Lalu turunlah ayat:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ

“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam”. (Qs. Ali Imran: 59)

Maka Rasul pun membacakan ayat ini kepada mereka.[3]

Pada awal surat ini Allah menjelaskan berbagai bukti yang konkrit tentang ketidak benaran ucapan bangsa Nasrani terkait dengan istri dan anak, kemudian Allah juga menutupnya dengan bukti tentang kesalahan ucapan mereka, yakni bahwa sebagaimana lahirnya Adam tanpa Ibu dan Ayah tidak melazimkannya menjadi anak Tuhan maka demikian juga dengan Isa as. dan apabila Adam mungkin diciptakan dari Tanah maka bukan suatu hal yang mustahil jika Isa diciptakan dari darah yang tercampur di rahim ibundanya as. dan hal ini sudah cukup menjadi dalil yang jelas bagi mereka yang mencari kebenaran, karenanya ayatnya mengatakan (Siapa yang membantahmu) setelah dijelaskan dalil-dalil yang nyata ini kepadanya, maka kamu tak perlu lagi berbicara dengan mereka, yang perlu kamu lakukan kepada mereka adalah mengajak mereka untuk bermubahalah karena mereka sudah menjadi kaum yang menyimpang dari kebenaran.[4]

Al-Hasan dan Al-Husain adalah putra Rasulullah saw.

Ayat di atas membuktikan bahwa Hasan dan Husain adalah putra Rasulullah saw. pada saat itu beliau berjanji untuk mengajak anak-anaknya dan beliau pun mengajak Hasan dan Husain, maka hal itu melazimkan bahwa keduanya adalah putra Rasulullah, hal ini juga dikuatkan oleh firman Allah SWT dalam surat Al-An’am berikut:

وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسَلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَموسَى وَهارُونَ وَكَذٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ◌ وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَىٰ وَعِيْسَىٰ وَإِلْيَاسَ

“Dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakariya,Yahya,  Isa, dan Ilyas”. (Qs. Al-An’am: 84-85)

Dan sudah ma’ruf bahwa Isa as. nasabnya bersambung kepada Ibrahim as. dari sisi ibunya bukan dari sisi ayah, maka hal ini membuktikan bahwa anak dari ibu terkadang juga disebut sebagai anak kakeknya (dari sisi ibu).[5]

Para ahli tafsir sudah sepakat dan dikuatkan oleh sejarah dan banyak riwayat bahwa Rasulullah saw. datang untuk bermubahlah dan tidak ada orang lain yang bersama beliau kecuali Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as.[6]

Adapun berkaitan dengan penggunaan lafadz jamak dalam ayat ini sementara yang dimaksud adalah satu atau dua individu, seperti kata nisa’ana yang merujuk kepada Fatimah, kata anfusana menunjuk kepada Ali, dan awladana menunjuk kepada Hasan dan Husain. Penggunaan semacam ini telah banyak dipakai oleh Al-Quran; yakni penggunaan lafadz jamak sementara mishdaqnya sesuai dengan sebab turunnya ayat adalah satu, seperti yang disebutkan dalam ayat berikut:

الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنكُمْ مِنْ نِسَآئِهِمْ مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ

“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka”. (Qs. Al-Mujadilah: 2)

Dan juga pada ayat:

لَقَدْ سَمِعَ  اللهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya”. (Qs. Ali Imran: 181)

Dan banyak lagi ayat-ayat yang menggunakan lafadz jamak sementara berdasarkan sebab turunnya ayat mishdaqnya adalah satu.

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Muawiyah berkata kepada Sa’ad: Apa yang mencegahmu untuk mencela Abu Turab? Sa’ad menjawab: Karena tiga hal yang diucapkan oleh Rasulullah saw. maka aku tidak akan pernah mencelanya. Yang ketiga adalah saat ayat mubahalah turun (Maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah) pada waktu itu Rasulullah saw. mengajak Ali, Fatimah, Hasan serta Husain, dan beliau berkata: Ya Allah mereka inilah Ahlul Bait-ku.[7]

Redaksi serupa juga diriwayatkan oleh At-Turmudzi dalam shahihnya, Abu Al-Muayyid al-mufiq, Abu Na’im dalam kitab Al-Hilyah dan Al-Hamawaini juga meriwayatkannya.[8]

Dari Durul Mantsur dari Ibn Abbas disebutkan bahwa beberapa orang Nasrani Najran telah mendatangi Rasulullah saw. mereka berjumlah empat belas orang, salah satu pemuka mereka adalah Sayd yang merupakan orang tertua dari mereka kemudian Aqib yang umurnya lebih muda darinya. Ia kemudian menyampaikan cerita seperti yang disebutkan di atas.[9]

Dalam Al-Kasyaf disebutkan riwayat dari Aisyah, ia berkata: suatu hari Rasulullah keluar dan beliau memakai kain yang ditenun dari bulu hitam, kemudian datang Al-Hasan dan beliau memasukkannya, setelah itu datang Al-Husain dan beliau memasukkannya, lalu datang Fatimah kemudian Ali dan beliau melakukan hal serupa, setelah itu beliau berkata: Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian hai Ahlul Bait.[10]

Hal ini menjadi dalil yang sangat kuat akan keutamaan Ashabul Kisa’ as.[11]

[1] Orang-orang non-muslim yang dijamin keselamatannya oleh Islam setelah mereka sepakat tidak memerangi Islam dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh pemerintahan Islam.

[2] Al-Amtsal, Jilid 2 Hal. 391

[3] Al-Ma’jma’, Jilid 1

[4][4] Al-Fakhrur Razi, Jilid 8 Hal. 82

[5] Ibid, hal. 86

[6] Al-Mizan, Jilid 3 Hal. 244

[7] Al-Mizan, Jilid 3 Hal. 254

[8] Ibid

[9] Ibid, Hal. 255

[10] Al-Kasyaf, Jilid 1 Hal. 369

[11] Ibid, Hal. 370

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tematik. Tandai permalink.

Satu Balasan ke Keistimewaan Nabi saw. dalam al-Quran [4]: Peristiwa Mubahalah Bukti Keistimewaan Rasul dan Ahlul Baitnya

  1. mamad berkata:

    Terima kasih. Kajian menarik dan bermanfaat.

    Suka

Tinggalkan komentar