Pujian Allah SWT Terhadap Para Sahabat Nabi Dalam Al Qur’an (1)

Pujian Allah SWT Terhadap Para Sahabat Nabi Dalam Al Qur’an (1)

Pendahuluan:

Pada akhir surah al Fath, Allah SWT menyebutkan sebuah permisalan tentang sifat orang-orang yang bersama Nabi Muhammad saw. dan Allah memuji mereka dengan mengapresiasi beberapa sifat dan karakter mulia serta prilaku terpuji yang mencerminkan keluhuran jiwa dan keteguhan sikap disamping kedalaman akidah dan kemantapan kayakinan.

Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدى‏ وَ دينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَ كَفى‏ بِاللَّهِ شَهيداً

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS. Al Fath; 28)

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَ الَّذينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَماءُ بَيْنَهُمْ تَراهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَ رِضْواناً سيماهُمْ في‏ وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْراةِ وَ مَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوى‏ عَلى‏ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَ أَجْراً عَظيماً

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang- orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang- orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al Fath; 29)

Allamah Sayyid M. H Thabathaba’i dalam tafsir al Mîzân-nya menjelaskan bahwa kerangka umum surah al Fath adalah membicarakan tentang sebuah pristiwa yang sangat cocok keterkaitannya dengan pristiwa Shuluh Hudaibiyyah/Perdamaian Hudaibiyah, dan keengganan kaum Arab Baduwi bergabung dengan rombongan Nabi saw. yang berangkat menuju kota suci Mekkah dengan tujuan damai yaitu melaksanakan ibadah umrah lalu bagaimana kaum Musyrikin Mekkah menghalang-halangi Nabi dan kaum Muslimin untuk masuk ke kota suci Mekkah, seperti lengkap dilaporkan dalam sejarah.

Kandungan umum ayat ini adalah:

  • Menerangkan kebaikan dan anugerah Allah SWT atas rasul-Nya saw. dengan al Fath/kemenangan nyata[1] yang Ia berikan dalam perjalanan Nabi saw. menuju kota suci Mekkah.
  • Menerangkan anugerah Allah yang besar kepada kaum Mukminin yang hidup bersama Nabi saw.
  • Menerangkan Pujian yang mendalam terhadap orang-orang yang hidup bersama Nabi saw.
  • Menerangkan janji indah Allah bagi kaum Mukminin yang beramal shaleh di antara mereka yang hidup bersama Nabi saw. dengan ampunan dan pahala yang agung.[2]

Kira-kira itulah kerangka dan kandungan umum surah al Fath yang dua ayat terakhirnya akan menjadi kajian kita kali ini.

Ketarangan:

Dalam dua ayat terakhir surah al Fath ini terdapat isyarat kepada dua masalah penting terkait dengan al Fathu al Mubîn/Kemenangan yang nyata/Shuluh Hudaibiyah:

Pertama: Tentang ke-universal-an Risalah Islam.

Kedua: Tentang sifat-sifat dan keistimewaan-keistimewaan orang-orang yang hidup bersama Nabi saw. yaitu para sahabat, dan janji Allah kepada mereka.

Ayat pertama berbunyi:

هُوَ الَّذي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدى‏ وَ دينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَ كَفى‏ بِاللَّهِ شَهيداً

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.

Ini adalah janji Allah yang pasti bahwa Dia akan memenangkan agama-Nya di atas seluruh agama dan isme-isme.

Kamsudnya: “Janganlah kalian heran jika Allah mengabarkan kepada kalian melalui mimpi Muhammad; Nabi-Nya akan kemenangan dan bahwa ia akan memasuki al Masjid al Haram/kota suci Mekkah dengan kemegahan dan kalian melaksanakan ibadah umrah tanpa ada seorang pun berani mengganggu kalian! Sebagaimana janganlah kalian heran jika Allah mengabar-gembirakan kepada kalian dengan al Fath al Qarîb/kemenangan yang segera. Islam akan berjaya dan mendunia.

Bagaimana tidak! Bukankah esensi agama yang dibawa sang Nabi ini adalah Hidayah Allah:Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan (agama yang ia bawa adalah) agama yang hak(dan semua orang berakal yang mau menelitinya dengan obyektif pasti akan mengetahui kebenaran agama in melalui ayat-ayat Al Qur’an yang ia bacakan dan melalui Syari’at yang ia ajarkan.)

Karenanya, tidaklah heran apabila agama ini akan mendunia dan unggul di atas agama-agama lain.

“Dan cukuplah Allah sebagai saksi.akan kebenaran kerasulan Nabi Muhammad saw. dan kebenaran janjin Allah bahwa Dia akan memenangkan agama ini atas seluruh agama.

Atau yang dimaksud: cukuplah Allah sebagai saksi atas kebenaran mimpi Nabi-Nya.

Di Tangan Imam Hahdi-lah Islam Akan Berjaya Mutlak

Dalam tafsir al Qummi disebutkan sebuah tentang makna ayat di atas:

هُوَ الَّذي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدى‏ وَ دينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَ كَفى‏ بِاللَّهِ شَهيداً

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.

Bahwa kejayaan Islam yang mendunia itu kelak akan terjadi dibawah pimpinan Imam Mahdi as. dari keturunan/Ahlulbait Nabi saw. Al Mahdi as. akan meratakan keadilan di seluruh penjuru dunia dan mengusir kezaliman yang sebelumnya telah merata di setiap jengkal bumi Allah ini. Demikian ta’wil ayat ini.[3]

Setelahnya Allah melanjutkan dengan mensifati Nabi saw. dan menyebutkan tentang permisalan sifat-sifat orang-orang yang bersama beliau seperti yang telah Allah sifatkan mereka itu dalam dua kita suci sebelumnya yaitu Taurat dan Injil. Lalu menjanjikan untuk mereka yang beriman dan beramal shaleh dengan janji yang indah. Ayat ini sangat kuat relasinya dengan ayat sebelumnya yang mengabarkan bahwa Allah SWT telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama kebanaran.

Firman Allah SWT.:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ

“Muhammad itu adalah utusan Allah…”

Allah SWT menegaskan bahwa Muhammad adalah utusan, Rasul Allah, baik kaum Musyrik Mekkah, seperti Suhail bin ‘Amr dan para pembesar kafir Quriasy lainnya mengakuinya atau mengingkarinya.

Tidak sedikit ayat yang menegaskan kerasulan beliau saw. dengan menghadirkan bukti-bukti yang dapat meyakinkan kebenaran kerasulan dan kenabiannya kepada kaum berakal… Adapun apabila di sana ada kaum degil yang mencederai nuraninya, menodai fitrahnya dan membelenggu akal sehatnya yang masih meragukan kerasulan beliau, sekali-kali itu bukan karena samarnya kebenaran bukti kebanian dan karasulan beliau, melainkan pada diri merekalah terdapat cacat.

Kenabian dan kerasulan Muhammad saw. sudah “diagendakan” sejak sebelum Allah menciptakan alam semesta ini.

Banyak hadis yang menegaskan hal ini, di antaranya adalah riwayat di bawah ini:

Dalam kitab al Khishâl, Syeikh Shadûq meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Jabir bin Abdillah (sabahar mulia Nabi saw.), ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda:

مكتوبٌ على باب الجنة: لا إله إلا الله , محمدٌ رسولُ اللهِ , علِيٌّ أخو رسولِهِ قبلَ أنْ يَخْلُقَ السماوات بأَلْقَيْ عامٍ

“Tertulis di atas pintu surga dua ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dengan berlapis-lapis: ‘Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah dan Ali Saudara Rasulullah.’”[4]

Adapun bagian kedua ayat ini adalah:

وَ الَّذينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَماءُ بَيْنَهُمْ تَراهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَ رِضْواناً سيماهُمْ في‏ وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْراةِ وَ مَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوى‏ عَلى‏ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَ أَجْراً عَظيماً

“dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang- orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al Fath; 29)

adalah berbicara tentang sifat orang-orang yang bersama Rasulullah saw. dan ia adalah inti kajian kita.

Dalam ayat tersebut Allah mesnifati mereka dengan lima sifta terpuji:

Sifat Pertama: Keras terhadap orang-orang kafir

Mereka bersikap tegas terhadap kaum kafir yang memusuhi Islam dan Nabi Islam …

Sifat Kedua: Berkasih sayang sesama mereka.

Setelah menyebutkan sifat pertama segera Allah menyusulnya dengan menyebut sifat kedua ini untuk menolak anggapan bahwa karena mereka bersikap keras terhadap kaum kafir maka boleh jadi watak kasar dan sikap keras itu akan mereka alamatkan kepada sesama kaum Mukmin; saudara mereka, walaupun dengan kualitas yang lebih rendah. Sifat kedua ini menegaskan bahwa kekerasan sikap mereka terhadap kaum kafir itu bukan muncul dari watak kasar mereka, tetapi mereka tampakkan kepada kaum kafir karena mereka adalah musuh-musuh Allah. Adapun terhadap kaum Mukminin maka mereka adalah orang yang berlemah-lembut dan penuh kasih sayang. Dua sifat yang kelihatannya sulit digabungkan pada satu pribadi. Namun tidak demikian dengan mereka.

Sifat Ketiga: Rajin Beribadah Demi Keridhaan Allah SWT

Allah mensifati mereka sebagai orang-orang yang rajin beribadah, merendahkan diri mereka di hadapan Sang Maha Pencipta demi maraih anugerah dan keridhaan Allah.

Allah betfirman mensifati mereka:

تَراهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَ رِضْواناً

kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya.”

Kata: رُكَّعاً سُجَّداً adalah bentuk jamak dari kata:راكِع dan ساجِد , artinya orang-orang yang ruku’ dan sujud. Sedangkan yang dimaksudkan dengannya adalah mereka menegakkan shalat. Disebutkannya kata: رُكَّعاً سُجَّداً/ruku’ dan sujud yang mana keduanya adalah bagian inti dari shalat sementara yang dimaksud adalah total shalat itu sendiri (dari takbir hingga salam) yang di dalamnya ada: qiyam (berdiri), membaca surah, qunut dan duduk tasyahhud itu dalam istilah Sastra Bahasa Arab disebut: Ithlâqul Juz’i wa irâdatul kulli/yang disebut sebagian sedangkan yang dimaksud adalah keseluruhan. Dan ini adalah bagian dari bentuk Majâz. Dalam Al Qur’an –sebagaimana juga tentu dalam pembicaraan orang-orang Arab- banyak digunakan majâz bentuk ini.

Tentu penyebutan dua kata ini ada hikmah yang tersirat di dalamnya, -seperti dalam setiap penggunaan Majâz bentuk ini-, karena dipilihnya kata tertentu untuk mewakili makna kata yang lebih umum (mencakup) tentu beralasan. Di sini, dalam kasus ayat di atas karena keduanya adalah rukun paling dan inti dalam shalat yang mampu menunjukkan ketundukan melebihi rukun-rukun lainnya. Demikian diterangkan Allamah Syeikh Makârim asy Syîrâzi dalam tafsir Al Amtsâl-nya.[5] Allâhu A’lam.

Adapun kata: tarâhum dalam begian ayat:

تَراهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَ رِضْواناً

kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya.”

Adalah kata kerja mudhâri’ dari kata: رأى artinya melihat. Salah satu fungsi kata kerja bentuk mudhâri’ disamping menunjukkan arti sedang atau akan datang adalah menunjukkan kesinambungan/terus merenus, tidak hanya sekali saja. Maka dengan demikian ayat ini hendak menegaskan sebuh pensifatan bahwa mereka adalah orang-orang yang selalu kamu saksikan dalam ketekunan ibadah; ruku’ dan sujud menghambakan diri kepada Allah SWT.

Ibadah adalah simbol penghampaan, kepasrahanm ketundukan dan berserah diri di hadapan Kemaha-Agungan Allah SWT. sebagaimana ibadah adalah bukti kesehatan jiwa mereka dari penyakit congkak, berbusung dada membanggakan kemulian palsu dan sifat egois.

Demikianlah Allah SWT mensifati orang-orang yang bersama Nabi saw. dan kami lebih memilih redaksi ini karena ia redaksi yang dipilih Allah untuk mensifati mereka: dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, … “ Bukan redaksi lain. Perhatikan ini!

Sifat Keempat: Keikhlasan Niat Semata hanya Karena Allah SWT.

Mereka begitu getol dalam beribadah kepada Allah… namun bukan asal ibadah yang mereka lakukan, akan tetapi, mereka melaksakan penghambaan kepada Allah itu murni karena mengharap karunia Allah dan keridhaan-Nya.” Mereka tidak melaksanakan ibadah karena mencari pamor di tengah-tengah manusia. Tujuan mereka murni hanya mengharap karunia Allah dan keridaan-Nya. Hanya itu, bukan selainnya!

Di sini ada sebuah kata yang perlu mendapat perhatian khusus dari perenungan kita, yaitu kata: فَضْلاً مِنَ اللَّهِ /karunia dari Allah. Kata tersebut mengandung pengakuan yang sangat mendalam bahwa betapapun mereka begitu serius beribadah tatap saja mereka masih jauh dari kelayakan mendapat pahala dari Allah SWT andai bukan karena fadhl/ kemurahan pemberian dari Allah. Pahala yang mereka terima sebenarnya tidak pantas mereka terima andai bukan karena rahmat dan karunia Allah.

Dan ini membuktikan betapa kualitas jiwa mereka sangat mulia dan sempurna.

Demikian juga dengan kata: ridhwânan/keridhaan. Yang menjadi puncak cita-cita mereka bukankah surga dengan serab-serbi kenikmatannya. Apa arti istana-istana megah di surga, bidadari, para pelayan dan segala kenikmatan itu andai di dalamnya tidak ada keridhaan Allah. Karenanya Allah mensifati keridhaan-Nya itu dengan firman-Nya:

وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنينَ وَ الْمُؤْمِناتِ جَنَّاتٍ تَجْري مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدينَ فيها وَ مَساكِنَ طَيِّبَةً في‏ جَنَّاتِ عَدْنٍ وَ رِضْوانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظيمُ

“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At Taubah;72)

Sifat Kelima: Wajah Mereka Memancarkan Sinar Ibadah

Sifat terakhir mereka adalah apa yang Allah gambarkan dengan firman-Nya;

سيماهُمْ في‏ وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.”

Kata: سيما artinya tanda, baik tanda itu ada pada wajah atau selainnya, walaupun dalam penggunaannya lebih identic dengan tanda pada wajah.

Maksud ayat ini adalah: Sesungguhnya sujud mereka merendahkan diri di hadirat Sang Maha Pencipta telah memberi bekas pada wajah-wajah mereka yaitu ciri kekhusyukan dan ketundukan kepada Allah Yang Maha Perkasa. Setiap orang yang memandang mereka pasti menayksikan tanda tersebut.

Imam Ja’far ash Shadiq as. bersabda menerangkan sifat ini ketika ditanya oleh murid beliau Abdullah bin Sinân:

هو السهَرُ فِي الصلاةِ

“Ia adalah begadanng/tidak tidur malam menegakkan shalat.”[6]

Sifat kelima ini tidak ada hubungannya dengan gosongnya jidat akibat banyak bergesekan dengan alat/alas sujud, walaupun hal itu bisa aja terjadi pada orang yang sering bersujud. tetapi menjdikannya makna ayat tersebut itu yang tidak memiliki bukti. Sebab ayatnya tersebut mengatakan bahwa tanda itu terlihat pada wajah, bukan hanya pada jidat!

Demikianlah permisalan/pensifatan mereka dalam kitab Taurat.

Adapaun permisalan/pensifatan mereka dalam kitab Injil …. maka nantikan ulasannya pada episode mendatang Insya Allah.

(Bersambung insya Allah)

____________________

[1] Yang dimaksud dengan al Fath dalam surah ini adalah Shuluh Hudaibiyah/Perjanjian damai Hudaibiyah, bukan Fathu Makkah/penaklukan kota Mekkah.

[2] Tafsir al Mîzân,18/256.

[3] Tafsir Kanz ad Daqâiq,9/574 dari tafsir al Qummi,2/317.

[4] Ibid. dari al Khishâl,2/638 tentang Empat Ratus Perkara, hadis no. 10.

[5] Tafsir Al Amtsâl,13/78.

[6] Tafsir al Mîzân,303, tafsir Kanz ad Daqâiq,9/578 dari Man Lâ Yahdhuruhul Faqîh,1/473, Bab Tsawâb Shalâtil Lail, hadis no.1366 dan juga rawdhatul Wâidzîn; an Nîsâbûri,2/321.

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Tafsir Tematik. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar