Tema-tema Penting Ulumul Qur’an (2): Proses Awal Penerimaan Wahyu Al Qur’an

Tema-tema Penting Ulumul Qur’an (2):Proses Awal Penerimaan Wahyu Al qur’an

  • Sikap Nabi saw. dalam Menerima Wahyu.

Dalam banyak buku hadis, tafsir dan sejarah Ahlu Sunnah disebutkan bahwa ketika Nabi saw. menerima wahyu pertama Al qur’an, beliau mengalami hal-hal yang cukup menakutkan dan mencemaskan, sehingga beliau dirundung rasa takut, cemas dan mengkhawatirkan keselamatan akal sehat dan jiwanya. Untuk mengatasi semua itu, beliau lari terbirit-birit, pulang ke rumah untuk menemui istri kesayangannya; Khadijah dan memohon pertolongan dan perlindungan dengan wajah pucat dan gemetar seraya berkata cemas: Aku mengkhawatirkan keselmatan diriku.”

Mengamati apa yang dialami suami tercintanya, Khadijah ra. berusaha mencoba menenangkan suaminya yang sedang dihantui rasa cemas dan kekalutan, Khadijah berkata menghibur: “Tenanglah! Engkau tidak akan mengalami hal-hal buruk.”

Selanjutnya untuk menyakinkan semua keadaan aman-aman saja, Khadijah mengajak suaminya berangkat menemui seorang pendeta Arab bernama Waraqah bin Naufal yang masih sepupu Khadijah sendiri. Khadijah menceritakan semua yang dialami dan ditakutkan oleh suaminya- sementara Nabi duduk dengan hati kalut dan jiwa yang kacau serta pikiran yang tak stabil- dengan harapan Waraqah memiliki resep penawar yang dapat menenangkan dan membawa ketentraman jiwa sang calon Nabi.

Setelah mendengar apa yang disampaikan Khadijah, Waraqah segera memberikan penjelasan dan nasihat yang dengan sepontan benar-benar meredahkan keguncangan dan kekalutan jiwa Nabi. Waraqah berkata: “Yang datang kepadamu itu adalah Namus (jibril) yang pernah datang kepada Musa.”

Di bawah ini akan kami sebutkan riwayat tentangnya:

حَدِيثُ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّادِقَةَ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ فَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ يَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ أُوْلَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى فَجِئَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ أَقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ ( اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ) فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْجُفُ بَوَادِرُهُ حَتَّى دَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ فَقَالَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ ثُمَّ قَالَ لِخَدِيجَةَ أَيْ خَدِيجَةُ مَا لِي وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ قَالَ لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي قَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ كَلَّا أَبْشِرْ فَوَاللَّهِ لَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا وَاللَّهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى وَهُوَ ابْنُ عَمِّ خَدِيجَةَ أَخِي أَبِيهَا وَكَانَ امْرَأً تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعَرَبِيَّ وَيَكْتُبُ مِنَ الْإِنْجِيلِ بِالْعَرَبِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ أَيْ عَمِّ اسْمَعْ مِنِ ابْنِ أَخِيكَ قَالَ وَرَقَةُ بْنُ نَوْفَلٍ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرَ مَا رَآهُ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا يَا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا حِينَ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَ مُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ وَرَقَةُ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا.

Diriwayatkan dari Aisyah istri Nabi saw., ia berkata, “Permulaan wahyu yang dialami Rasulullah saw. adalah berupa mimpi yang benar dalam tidur. Beliau mendapati mimpi tersebut sebagaimana munculnya terangnya fajar subuh, kemudian dicintakan kepada beliau menyendiri. Beliau menyediri di gua Hira’. Di sana beliau menghabiskan beberapa malam untuk beribadah dengan mengabdikan diri kepada Allah WST. sebelum kembali ke rumah dan mengambil bekal. Setelah beberapa hari berada di sana beliau pulang kepada Khadijah, mengambil bekal untuk beberapa malam lainnya. Sehingga datang kepadanya kebenaran, al haq (wahyu) ketika beliau berada di gua Hira’. Maka malaikat Jibril as. berkata: “Bacalah (hai Muhammad)!”. Beliau berkata: “Aku bukan orang yang bisa membaca.” Rasulullah saw. melanjutkan: “Kemudian Malaikat memegangku lalu memelukku erat-erat sehingga aku benar-benar payah, kemudian Malaikat melepasku sambil berkata: “Bacalah (hai Muhammad)!”. Beliau sekali lagi berkata: “Aku bukan orang yang bisa membaca.” Rasulullah saw. berkata: “Kemudian Malaikat memegangku untuk kedua kali lalu memelukku erat-erat sehingga akubenar-benar payah. Kemudian Malaikat melepasku dengan berkata: “Bacalah (ahai Muhammad)!”. Beliau berkata: “Aku bukan orang yang bisa membaca.” Rasulullah saw. berkata: “Kemudian Malaikat memegangku untuk ketiga kali serta memelukku erat-erat sehingga aku benar-benar payah, kemudian Malaikat melepaskanku dan membaca firman Allah:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ* خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَم ُ* الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan* Dia menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhan mu Yang Maha Pemurah yang mengajar manusia melalui pena. Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahui”.

Setelah itu beliau pulang menemui Khadijah dalam keadaan gemetar hatinya (ketakutan), beliau berkata: “Selimutilah aku! Selimutilah aku!. Lalu Khadijah menyelimuti beliau hingga hilang rasa gementar dari diri beliau. Kemudian beliau berkata kepada Khadijah: “Wahai Khadijah! Apa yang telah terjadi terhadapku?” Lalu beliau menceritakan seluruh peristiwa yang terjadi. Beliau berkata lagi: “Aku benar-benar mengkhawatir keselamatan jiwaku.” Khadijah menghibur beliau dengan berkata: “Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Demi Allah! Sesungguhnya, engkau telah menyambung tali persaudaraan, bertutur kata benar, memikul beban orang lain, suka membantu orang yang tidak punya, menjamu tamu dan sentiasa membantu yang kesusahan.” Lalu Khadijah berangkat membawa Nabi menjumpai Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, sepupu Khadijah. Dia memeluk agama Nasrani pada zaman Jahiliah. Dia pandai membaca dan ia menulis kitab Injil dalam bahasa Arab. Ketika itu dia telah tua dan buta. Khadijah berkata kepadanya: “Wahai paman dengarlah cerita dari anak saudaramu ini!”. Waraqah bin Naufal berkata: “Wahai anak saudaraku! Apakah yang telah terjadi?” Rasulullah saw. menceritakan semua peristiwa yang beliau telah alami. Mendengar cerita itu, Waraqah berkata: “Ini adalah Namus (Malaikat) yang dahulu pernah datang kepada Nabi Musa as. Alangkah beruntungnya andai aku masih muda di saat-saat engkau dibangkitkan menjadi Nabi. Dan andai aku masih hidup di saat-saat kaummu mengusirmu. Lalu Rasulullah saw. berkata: “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab: “Ya. Setiap nabi yang bangkit membawa tugas sepertimu, pasti akan dimusuhi. Seandainya aku masih hidup di zamanmu, niscaya aku akan benar-benar membelamu.[1]

Dalam Kitab as Sirah Al Halabiyah[2]disebutkan bahwa setelah pulang dari rumah Waraqah, Khadijah mengadakan suatu percobaan untuk meyakinkan bahwa yang datang kepada suaminya benar-benar (Namus/Malaikat) dan bukan setan atau roh-roh jahat lainya yang ingin mengganggu.

Ketika beliau duduk berdua di rumahnya, maka datanglah makhluk yang seram yang pernah mendatangi Nabi di Qua Hira’ dan ketika itulah Khadijah mulai mengadakan suatu eksperimen (percobaan), ia memerintahkan Nabi untuk duduk di pangkuan kanannya, ternyata makhluk itu tidak juga menyingkir, diperintahkannya lagi agar duduk di pangkuan kiri, ternyata juga tidak menyingkir dan disuruhnya lagi pindah di pangkuan tengah akan tetapi, makhluk itu tidak juga mau menyingkir, bahkan mengayunkan langkah-langkahnya untuk mendekat, maka Khadijah pun harus memainkan kartu terakhirnya, ia pun menyingkap jilbabnya, dan seketika makhluk yang seram itu menghilang dan tidak datang lagi.

Dengan percobaan itu Khadijah dapat memastikan secara yakin bahwa makhluk yang seram itu adalah Jibrill (Malaikat pembawa wahyu).

Karena Ketidak-Jelasan Statusnya, Nabi Saw. Nekat Mau Bunuh Diri

Dan untuk mendapatkan hasil percobaan yang mendebarkan tersebut dibutuhkan waktu yang tidak sedikit, sehingga Nabi sendiri berinisiatif nekat untuk mengkahiri hidupnya/ bunuh diri dengan menerjunkan diri dari puncak gunung bebatuan, namun setiap kali beliau akan melakukan niatannya itu ada penghalang yang datang menggagalkan usaha itu, Jibril datang dan berkata: “Aku adalah Jibril dan kamu adalah utusan Allah.”

Demikianlah kisah singkat turunnya wahyu pertama kali serta pengaruhnya terhadap jiwa dan mentalitas Nabi. Pada riwayat Imam Bukhari tersebut di atas ada sebuah kalimat yang bunyinya demikian:

لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي

“Aku megkhawatirkan keselamatan diriku “.

Kalimat tersebut tidak menjelaskan apa yang menjadi kekhawatiran beliau saw., akan tetapi Ath Thabari dan Ibnu Sa’ad menerangkannya bahwa yang ditakutkan adalah stres yang akan membawa kepada sakit jiwa (gila). Atau takut jadi dukun santet. Ibnu Sa’ad berkomentar: “Aku takut kalau sampai aku menjadi dukun santet.” Dan dalam kesempatan lain ia berkomentar: Aku takut kemasukan/kesurupan jin yang menyebabkan gila.”[3]

Sedangkan At hThabari ketika membawakan kisah awal turunnya wahyu, ia berkomentar: “Nabi berkata: ‘Tiada sesuatu yang aku benci lebih dari seorang penyihir/dukun santet dan orang gila, aku tidak kuasa untuk memandang keduanya.’ Kemudian beliau melanjutkan: “Aku takut menjadi seperti keduanya. Jangan sampai orang-orang Quraisy mengatakan hal itu terjadi padaku, aku akan pergi ke puncak gunung untuk terjun dan bunuh diri, setelah itu aku akan istirahat dan tenang.’ Beliau berkata: ‘Lalu aku keluar untuk tujuan itu, dan ketika sampai di pertengahan jalan aku mendengar suara yang berkumandang memanggilku “Hai Muhammad, engkau adalah utusan Allah, sedangkan aku adalah Jibril….

Sanggahan Ulama

Para ulama Ahlusunnah hampir keseluruhan sepakat meyakini kebenaran kisah di atas, sedangkan ulama Syi’ah Imamiyah tidak dapat membenarkan hal-hal ganjil seperti itu. Riwayat-riwayat seperti itu sulit diterima, karena disamping sanad -jalur penghubung periwayatan-nya lemah, matan –kandungannya- pun tidak dapat dipertanggung-jawabkan kesahihannya.

Bagaimanakah dapat dibenarkan bahwa beliau tidak menyadari bahwa dirinya telah dinobatkan menjadi Rasul, utusan Allah, sedangkan Waraqah dan Khadijah memahaminya?

Bagaimanakah dapat dibenarkan pula bahwa Allah SWT mengutus seseorang menjadi Rasul tanpa terlebih dahulu dipersiapkan dengan matang sehingga menjadi manusia sempurna?

Juga dapat difahami dari perkataan Nabi: “Aku bukan orang yang dapat membaca” bahwa beliau tidak memahami maksud Jibril ketika berkata kepadanya: “Bacalah!.” Beliau menyangka bahwa Jibril memerintahkannya membaca tulisan, sedang maksud Jibril adalah ikutilah bacaan dan ucapanku. Maksud Jibril ini dapat difahami oleh Nabi setelah berkali-kali diulang. Dari sini timbul juga pertanyaan: “Apakah Jibril tidak mampu me­mahamkan Nabi? Atau justru Nabi yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahaminya?

Jelasnya, Ulama Syi’ah berkeyakinan bahwa kenabian haruslah disertai tanda-tanda yang dapat memperlihatkan dan menjelaskan kenabian.

Kenabian Selalu Disertai Tanda-tanda Yang Jelas

Sudah menjadi kepastian, Sunnatullah, setiapkali Allah mengutus seseorang untuk men­jadi Nabi, Allah selalu menyertakan tanda-tanda yang dapat mene­nangkan jiwanya dan meyakinkan akan kenabiannya, sebagaimana yang terjadi atas diri Nabi Ibrahim. Allah menampakkan tanda-tanda kebesaran­-Nya agar ia menjadi orang yang betul-betul yakin.

Allah berfirman:

وَ كذَا نُرِيْ إبْراهيمَ مَلَكُوْتَ السمواتِ و الأرْضِ و لِيَكُوْنَ مِنَ المُوقنينَ.

“Demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, agar Ibrahim termasuk orang yang benar-benar yakin. (QS:6; 75)

Ketika Allah melantik Musa as. menjadi seorang Nabi dengan firman-Nya: “Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang di wahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selin Aku, maka sembahlah Aku dan dirkanlah shalat untuk mengingat Aku”(QS:20;13-14) dan dalam ayat lain: “Wahai Musa! sesungguhnya Aku ini Allah Yang Maha Perkasa dan Bjjaksana”. (QS:27; 9). Allah membeberkan tanda-tanda kenabian kepada Nabi Musa as. sehingga beliau dengan hati yang teguh mengenali wahyu dan kenabian itu dan kemudian meresponnya dengan memohon bantuan -dengan penuh kemesraan- agar tugas tanggung jawab kenabian yang dipikulkan itu dapat beliau laksanakan dengan baik.

رَبِّ إشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَ يَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ ….

“Musa memohon: Tuhanku, lapangkanlah dadaku! Lan­carkanlah tugas yang dibebankan kepadaku…Sesungguhnya Engkau adalah Maha mengetahui (keadaan) kami”. ( QS:20; 25-35).

Bahkan lebih dari itu, seusai pelantikan itu, terjadilah dialoq mesra antara Allah SWT. dengan Nabi Musa as., Allah menanyakan kepada Musa as.:

وَ ما تِلْكَ بِيَمينِكَ يا مُوسى‏

Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa? (QS:20;17)

Dalam menjawab pertanyaan itu, Musa as. lebih memilih menjawab dengan panjang lebar menyebut banyak hal terkait dengan kegunaan tongkat yang ada di tangan kanannya, yang semestinya ia dapat mencukupkan dengan hanya menjawab bahwa yang ada di tangan kananku adalah tongkat.

قالَ هِيَ عَصايَ أَتَوَكَّؤُا عَلَيْها وَ أَهُشُّ بِها عَلى‏ غَنَمي‏ وَ لِيَ فيها مَآرِبُ أُخْرى‏

Musa berkata: Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan-keperluan yang lain padanya”.(QS:20;18)

Gaya pembicaraan seperti ini seperti diistilahkan oleh para pakar Sastra Bahasa Arab dengan Al Ithnâb (berpanjang-panjang). Dan itu bukti kuat adanya kemesraan dan keharmonisan antara kedua lawan bicara.

Dengan demikian apakah dapat diterima oleh akal kita bahwa Allah menelantarkan kekasih-Nya yang sedang dihantui rasa takut, cemas dan khawatir serta nasib yang tidak menentu, sehingga untuk mengusir itu semua harus membutuhkan bantuan dan obat penawar rasa takut dari seo­rang wanita yang jelasnya tidak tahu-menahu tentang kenabian atau harus datang kepada seorang pendeta Nashrani yang kalau ia memiliki nasib baik, ia hanya membaca buku yang sudah ditahrif dan dirubah oleh tangan-tangan jahat.

Lebih konyol lagi adalah bahwa semua kekacauan mental itu adalah Allah SWT penyebabnya, karena Allah sengaja tidak memberikan bukti kenabian dan kerasul kepada calon Nabi dan Rasul Terakhir-Nya. Wal ‘iyadzu billah.

Mengapa hal ini terjadi pada beliau, bukankah beliau Rasul ter­mulia dan Nabi yang paling dicintai oleh Allah??!

Mengapakah perlakuan Allah SWT. kepada Nabi Musa as. begitu lemah lembut, sementara itu Nabi Muhammad saw. yang justru lebih afhal dari semua nabi dan rasul harus diperlakukan kasar?

Ataukah jangan-jangan justru ini memang “keistimewaan” yang hanya diperuntukkan baginya [4]?

Ringkas kata, dapat kita katakan bahwa, Allah pasti akan memberikan semua fasilitas kemudahan bagi hamba-Nya yang Ia pilih untuk menjadi Nabi dan Rasul.

Penjelasan Imam Ja’far as.

Zurarah bin A’yun (murid setia Imam Ja’far as) pernah menanyakan hal itu kepada gurunya; Imam Ja’far as. ia bertanya: “Bagaimana Nabi tidak takut bahwa yang datang kepadanya dari Allah itu termasuk bisikan dan wahyu setan ? Beliau menja­wab: “Sesungguhnya Allah jika menjadikan seorang hamba-Nya seorang Rasul ia menurunkan atasnya sakinah/ketenangan, sehingga apa yang datang dari Allah sama dengan apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya.”[5]

Dalam riwayat lain juga dijelaskan ketika beliau ditanya:

“Bagaimanakah para rasul itu tahu bahwa mereka benar­-benar (telah menjadi) rasul? Maka beliau menjawab: “Tabir penutupaya telah disingkap.”[6]

Oleh sebab itu para nabi ketika dinobatkan berada pada keyakinan yang sempurna akan tugas yang baru dibebankan ke atas pundaknya, tidak takut, tidak bimbang dan tidak merasa minder, bahkan selalu diliputi oleh lindungan dan inayah Allah.

Al Allamah Ath-Thabarsi (salah seorang Mufassir Syi’ah) berkata: “Allah tidak akan mewahyukan kepada Rasul-Nya kecuali disertai dengan bukti-bukti yang jelas dan tanda yang nyata yang dapat menunjukkan bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Allah, sehingga Ia tidak butuh kepada bukti yang selainnya dan ia tidak akan takut serta tidak akan ditakut-takuti dan tidak pula gentar.”[7]

Dari keterangan singkat di atas dapat kita saksikan bagaimana para ulama Syi’ah mengagungkan kedudukan Nabi Muhammad dan kebanian dan bagaimana mereka memahami posisi kerasulan…

Semoga bermanfaat bagi kita semua….

______________________

[1] Kisah dan drama mencekam awal kedatangan wahyu itu dapat Anda baca dalam: Shahih Bukhari,1\bab Bad’u Al Wahyi, 4\ Kitab Bad’u Al Khalqi, 6\ Kitab at-Tafsir, Surah Iqra’ dan 6\bab ta’bir, Shahih Muslim,1\ bab Bad’u Al wahyi bi Rasulillah dan Musnad Ahmad:6\223 dan 323.

[2] 1/bab 251 cet. Al Maktabah Al Islamiyah Bairut. Lihat juga Al Bidayah Wa Al Nihayah,3/15-16, Sirah Ibnu Hisyam,1/255, Tarikh Al Thabari,2/50, Tarikh Al Khamis,1/283 Al Sirah Al Nabawiyah -tulisan Zaini Dahlan,1/83.

[3] Lihat Thabaqat Ibnu Sa ‘ad,1/195.

[4] Dalam pandangan Ibnu Hajar apa yang menimpa Nabi saw. pada permulaan turunnya wahyu termasuk keistimewaan beliau, sebab hal yang demikian tidak pernah terjadi pada nabi-nabi selain beliau pada awal turunnya wahyu (Al Sirah Al Halabiyah,1/242).

[5] TafsirAl Ayyasyi, 2/201 dan Biharul Anwar,18/262

[6] Biharul Anwar,11/56 dan at Tamhid,1/50.

[7] Tafsir Majma’ul Bayan,10/384.

Pos ini dipublikasikan di Kajian Qur'ani, Kuliah Ulumul Qur'an, Tak Berkategori. Tandai permalink.

Satu Balasan ke Tema-tema Penting Ulumul Qur’an (2): Proses Awal Penerimaan Wahyu Al Qur’an

  1. Solehan berkata:

    Alhamdulillah, manfa’at ustadz. Kami banyak menimba ilmu di sini… Khazanal Qur’aniyah yang terpendam diungkap di blog ini. Syukron.

    Suka

Tinggalkan komentar